Kita mungkin beruntung,
kekayaan budaya bangsa telah mewariskan sebuah konsep pengobatan alami, yang
kita kenal dengan jamu.
Dengan memanfaatkan kekayaan alam, jamu berkhasiat
untuk mengatasi masalah kesehatan, bahkan untuk mempercantik tubuh.
Kegiatan meramu dan meracik
ramuan tumbuh-tumbuhan asli nusantara, sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sejak periode
kerajaan Hindu-Jawa. Istilah ‘jamu’ sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno,
yaitu “Jampi” atau “Usodo” yang berarti penyembuhan menggunakan ramuan
obat-obatan maupun doa dan ajian-ajian.
Pada
masanya, jamu merupakan minuman kebesaran raja sekaligus trendsetter bagi
para pembesar dan mitra kerajaan di luar Majapahit. Tradisi minum jamu ini
dimulai dari Brawijaya ke III yang kemudian diteruskan oleh cucunya Brawijaya
ke V. Dan di akhir periode Majapahit, Raden Fatah, seorang Pendiri Kerajaan Demak
Bintara, mulai mempromosikan jamu sebagai ilmu sekaligus tatanan sakral kehidupan keraton.
Hingga
akhirnya, rakyat kecil memiliki kesempatan untuk menikmati minuman nusantara
ini. Dan jamu bukan lagi menjadi minuman kebesaran, melainkan minuman
kebersamaan dalam lokalitas budaya Jawa. Hingga saat ini pun tradisi itu
tertuang dalam "Serat Kawruh Bab
Jampi-jampi Jawi", berisi tentang resep racikan jamu yang muncul pertama
kali pada 1831. Naskah asli buku tersebut pun tersimpan rapi di Sonopoestoko
Kraton Susuhunan Surakarta. Pada masa pemerintahan Paku Buwono X juga ditulis
buku mengenai resep jamu, yaitu "Primbon Jampi Jawi", yang bahkan
saat ini sudah ditulis dalam huruf latin.
Bukti
lain telah dikenalnya pengobatan tradisional oleh masyrakat Mataram Kuno,
digambarkan pada salah satu relief “husada” di Candi Borobudur, pada tahun 772
M. Serta adanya prasasti
Madhawapura, peninggalan kerajaan Hindu-Majapahit yang menyebut adanya profesi
“tukang meracik jamu” yang disebut Acaraki bernama Ra Tanca atau
Prapanca, ahli pengobatan yang sangat terkenal pada zamannya.
Menyegani jamu tak hanya terletak
pada khasiatnya, tapi juga pada makna filosofinya. Dalam
bukunya, Healthy Lifestyle with Jamu, Dr Martha Tilaar mengemukakan
bahwa jamu diperlukan dalam siklus kehidupan. Mulai dari bayi dan anak-anak,
remaja, dewasa, dan mereka yang berusia lanjut.
Filosinya
pun digambarkan pada pedagang jamu gendong yang selalu membawa jamu dalam
jumlah delapan jenis, yaitu Kunir Asam, Beras Kencur, Cabe Puyang, Pahitan, Kunci
Suruh, Kudu Laos, Uyup-Uyup atau Gepyokan, dan Sinom. Merupakan representasi
konsep delapan arah mata angin sekaligus salah satu lambang surya Majapahit ri
Wilwatikta. Diharapkan melalui media jamu yang mengakar pada jati diri
masyarakat, Bangsa Indonesia dapat mencapai puncak kejayaan seperti pada zaman
Majapahit. Kedelapan jenis jamu ini juga merupakan urutan ideal dalam meminum
jamu dimulai dari manis-asam, sedikit pedas-hangat, pedas, pahit, tawar, hingga
manis kembali.
Berandai pada saat manusia lahir dalam keadaan fitrah yang terasa manis. Kata "kunir" di atas, diambil dari representasi warna kulit penduduk Indonesia, yakni sawo matang atau semu kuning. Sedangkan "asam" sebuah gambaran ketika beranjak remaja. Beralih ke fase Pra-Dewasa, yang dianalogikan dengan jamu Beras Kencur yang terasa pedas. Bila dibedah, kata ini menjadi Bebering Alas Tan Kena Diukur yang berarti luasnya 'dunia' belum bisa dikira-kira. Memasuki gerbang kedewasaan dengan rasa ingin tahu yang besar dan sikap egoisme yang mulai muncul.
Lalu
beranjak pada masa dimana diri harus lebih banyak menata diri dan bertanggung
jawab atas apa yang diucapkan. Berusaha konsisten akan visi yang akan kita
capai, bukan bersikap plin-plan . Rasa pedas dan pahitnya dunia
sudah mulai dirasakan seperti rasa “cabe puyang”.
Kemudian Pahitan, representasi dari masa klimaks dalam menghadapi kehidupan. Berbekal pendidikan budi pekerti yang telah diresapi sejak balita, ditunjang dengan rasa keingintahuan yang besar di masa remaja, membuat diri semakin kuat dan survive dalam menghadapi hidup yang sebenarnya.
Setelah itu menemui suatu perjalanan hidup yang landai sebagai sebuah resolusi hidup. Fase untuk menikmati masa keemasan, ketika telah memiliki pasangan hidup, meraih semua angan-angan yang pernah terpendam, dan berusaha lebih berarti bagi lingkungan. Inilah filosofi dari sebuah jamu "kunci suruh". Kunci merupakan sebuah bumbu penyedap makanan, sedangkan suruh memiliki banyak khasiat dan penyembuh berbagai macam penyakit.
Dalam melanjutkan perjalanan resolusi kita ini, ada “kudu laos”. Sebuah jamu penghangat, yang mampu menghidupkan rasa kekeluargaan. Pada masa inilah kadang kala kita sering merasa lupa dan kurang bersyukur akan rizqi yang telah diperoleh.
Lalu uyup-uyup atau gepyokan merupakan sebuah jamu penetral sekaligus bersifat rehabilitatif bagi seseorang yang telah sembuh dari penyakit berat. Bersifat mendinginkan adalah karakter jamu ini. Sebuah kepasrahan tulus dari seorang hamba kepada Tuhannya merupakan representasi nyata kehidupan seseorang sebelum memasuki alam non fana, yang tergambar dalam aroma khas jamu ini, yakni aroma tawar sedikit manis. Dan perjalanan berakhir pada “sinom” dapat diartikan sirep tanpa nampa yang bermakna diam atau tertidur tanpa meminta apapun.
Itulah
sebuah gambaran perjalanan hidup manusia, dalam filosofi jamu. Dimana tradisi
minum jamu pun memberikan makna bahwa setiap manusia haruslah menghargai hidup.
Bukan hanya untuk kesehatan jasmani tetapi juga rohani. Dan jamu adalah
gabungan antara pengetahuan dan keterampilan dimasa masyarakatnya yang belum
mengenal tulisan. Sehingga ditransformasikan dari generasi ke generasi melalui
tembang, seperti Serat Centhini.
Sumber:
Djamoe.Blogspot.com/Sejarah
Jamu
Madaisking.Blogspot.com/Jamu:
sebuah filosofi dan representasi budaya
Female,
Kompas.Com
Suharmiati
dan Lestari Handayani, Meracik Jamu Perpaduan Antara Seni dan Pengetahuan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan
Teknologi Kesehatan.
massage-techniques.suite101.com
The
essence of Indonesia spa: spa Indonoesia jawa dan bali, 2009, gramedia pustaka
utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar