Jumat, 05 Oktober 2012

Angkringan, Sekadar Canda Hingga Diskusi Soal Negara

Berpikir tentang Indonesia, tentu identik dengan keberagaman sumber daya alam dan manusianya. Mengarahkan pula pemikiran pada falsafah gotong royong dan toleransi di negeri ini. Bicara Indonesia, falsafah, dan keaneka ragaman ini, teringat pada suatu konsep kebersahajaan di sudut kota Jogja. Angkringan, secara harfiah berasal dari bahasa Jawa yaitu angkring, yang berarti duduk santai. Sebuah gerobak dorong dengan tungku kayu, menjual berbagai macam makanan dan minuman. Biasanya terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dan lebih dikenal dengan warung Hidangan Istimewa ala Kampung di kota Solo.

Gerobag angkringan inipun biasanya membawa tiga buah ceret besar sebagai lokomotif utama, untuk menghidangkan minuman. Beroperasi mulai sore hari, mengandalkan penerangan tradisional yaitu lampu teplok yang memberi warna remang-remang eksotis. Juga diiringi oleh terangnya lampu jalanan. Kursi kayu panjang mengelilingi sekitar gerobak, beratapkan kain terpal plastik yang dapat digulung menambah keunikan dari angkringan.

Yang menarik dari warung berlokasi dekat kawasan Malioboro ini, adalah konsep sahaja penuh kesederhanaan. Tempat berkumpul banyak orang dengan berbagai latar belakang usia, pekerjaan, dan budaya tanpa mengenal batas. Dari rombongan kawula muda gaul bermobil mewah hingga para pemuda kumal bersepeda ontel, laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda, tumpah ruah dengan kehangatan senyum dan canda tawa dalam perbincangan mereka di warung ini. Menikmati makanan sembari berbincang hingga larut malam meski tak saling kenal, dipadu padankan dengan indahnya malam diterangi lampu berwarna kuning. Atau sekadar berkumpul dengan teman, hingga datang hanya untuk melepas lelah atau menghilangkan jenuh setelah seharian beraktifitas.

Angkringan kini tak hanya sekedar tempat makan, melainkan tempat ngangkring, berbagi, refreshing, dan bahkan menjadi sumber inspirasi. Hal lain yang cukup mengesankan dari para pengunjung angkringan ini adalah sebagai tempat diskusi dan berkumpulnya orang-orang dengan berbagai kepentingan. Ide-ide segar, rencana aksi demonstrasi yang dirancang oleh aktivis kampus. Tempat munculnya ide skripsi dan penelitian, diskusi politik, maupun sekadar ngobrol ngalor-ngidul atau gojeg kere, sebutan khas Jogja untuk bercanda. Angkringan Tugu misalnya menjadi salah satu pilihan jitu berkumpulnya kalangan aktivis pergerakan mahasiswa, maupun kaum akademisi yang menuntut ilmu. Selain untuk berdiskusi dan mencetuskan gagasan, banyak dari mereka yang datang untuk menyegarkan pikiran.

Fenomena sosial inipun mengingatkan kita pada kata-kata filsuf Aristoteles -- disempurnakan oleh Thomas Aquinas-- “aku memahami diri begini dan begitu dalam sebuah konfrontasi.” Berkaitan dengan beragama motivasi tersebut, Parsudi Suparlan dalam konsepsinya mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam kaitannya dengan sistem ide --yang dimiliki oleh masyarakat yang tersangkutan-- mencakup hal-hal seperti nilai, selera, cipta dan rasa. Nyatanya angkringan juga bukan hanya menggambarkan konsep toleransi atau tepo seliro, tetapi juga biso rumongso atau bisa mengerti perasaan orang lain dan berbagi.

Dalam sektor ekonomi, pengelola angkringan menggunakan sistem ekonomi gotong royong berbasis kearifan lokal. Juragan angkringan memiliki modal cukup besar namun tak memonopoli seluruh kebutuhan dagangan anak buahnya, bahkan gerobak juga dimiliki oleh si pedagang. Juragan biasanya menyediakan barang-barang untuk minuman dan rokok. Sedangkan berbagai penganan lain disediakan oleh pemasok yang biasanya merupakan tetangganya di kampung. Dan sedikitnya, setiap angkringan disuplai oleh lima belas pemasok. Para pedagang kecil pemasok penganan juga menerapkan konsep berbagi. Seorang pembuat nasi bungkus dengan lauk teri, tidak akan membuat jenis makanan dengan lauk tempe yang telah dibuat oleh orang lain. Masing-masing punya batas, dan teritorial. Sistem ekonomi rakyat yang belum terumuskan sebagai teori ekonomi seperti ini, jelas berbeda dengan berbisnis di sebuah mal yang ketat dan keras aturan mainnya.

Dan kini jumlah total angkringan di Jogja diperkirakan lebih dari 1.000 buah, dengan 1.200-an pedagang, serta lebih dari 30.000 warga kampung penyuplai makanan. Menyegani konsep sahaja dan toleransi dengan kesederhanaannya, pada warung yang dikenal pula dengan CafĂ© Ceret Telu ini, tidak terlepas dari sejarah yang membawanya. Dimulai pada era 1950-an, Mbah Pawiro seorang pedagang makanan yang berasal dari pelosok Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Hijrah ke Yogyakarta guna mengadu nasib karena tak ada lagi lahan subur di daerahnya. Beliau menjajakan dagangan dengan pikulan dan berpindah-pindah di sekitar Stasiun Tugu. Teriakan khas “hiiik..iyeek..” Mbah Pawiro inilah yang melahirkan isitilah HIK di Solo.

Hingga pada 1969, diwariskan kepada putranya yakni Lik Man, yang terkenal dengan menu andalan “Kopi Joss”. Yaitu kopi hitam pekat dicelup dengan arang yang membara atau mowo hingga terdengarnya bunyi “joss” pada saat bara arang dicemplungkan ke dalam gelas kopi. Kabarnya, kadar kafein yang terkandung di kopi joss tergolong rendah karena telah dinetralisir oleh arang yang dicelupkan ke dalam seduhannya. Meski adapula yang mengatakan kopi tersebut mengandung karsinogen.

Kekhasan kuliner juga bertambah dengan adanya sego kucing atau nasi kucing, dikatakan demikian karena porsinya yang hanya segenggam nasi dengan hiasan oseng tempe, sambel teri atau sambel trasi dan yang lainnya dibalut dengan daun pisang dan kertas koran. Dijajakan pula gorengan, sate usus dan sate telur puyuh, jadah, jenang, dan wajik. Serta minuman berupa wedang jahe, susu jahe, wedang tape, teh panas dan sebagainya.


Dan yang menambah motivasi untuk berkunjung, harga makanan dan minumannya yang sangat murah. Sunguh kenikmatan yang luar bisa menikmati makanan khas, ditemani hingar bingar malam kota Jogja dan lantunan bunyi lonceng penanda datang dan berangkatnya kereta. Ditambah indahnya toleransi dalam kebersamaan dengan banyak orang dari berbagai kalangan, yang terekam dalam perbincangan di sudut kota ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar