Berpikir tentang Indonesia, tentu identik dengan keberagaman
sumber daya alam dan manusianya. Mengarahkan pula pemikiran pada falsafah
gotong royong dan toleransi di negeri ini. Bicara Indonesia, falsafah, dan
keaneka ragaman ini, teringat pada suatu konsep kebersahajaan di sudut kota
Jogja. Angkringan, secara harfiah berasal dari bahasa Jawa yaitu angkring, yang
berarti duduk santai. Sebuah gerobak dorong dengan tungku kayu, menjual berbagai
macam makanan dan minuman. Biasanya terdapat di setiap pinggir ruas jalan di
Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dan lebih dikenal dengan warung Hidangan Istimewa
ala Kampung di kota Solo.
Gerobag angkringan inipun biasanya membawa
tiga buah ceret besar sebagai lokomotif utama, untuk menghidangkan minuman. Beroperasi
mulai sore hari, mengandalkan penerangan tradisional yaitu lampu teplok yang
memberi warna remang-remang eksotis. Juga diiringi oleh terangnya lampu
jalanan. Kursi kayu panjang mengelilingi sekitar gerobak, beratapkan kain
terpal plastik yang dapat digulung menambah keunikan dari angkringan.
Yang menarik dari warung berlokasi dekat kawasan Malioboro ini, adalah
konsep sahaja penuh kesederhanaan. Tempat berkumpul banyak orang dengan
berbagai latar belakang usia, pekerjaan, dan budaya tanpa mengenal batas. Dari
rombongan kawula muda gaul bermobil mewah hingga para pemuda kumal bersepeda
ontel, laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda, tumpah ruah dengan
kehangatan senyum dan canda tawa dalam perbincangan mereka di warung ini.
Menikmati makanan sembari berbincang hingga larut malam meski tak saling kenal,
dipadu padankan dengan indahnya malam diterangi lampu berwarna kuning. Atau
sekadar berkumpul dengan teman, hingga datang hanya untuk melepas lelah atau
menghilangkan jenuh setelah seharian beraktifitas.
Angkringan kini tak hanya sekedar tempat
makan, melainkan tempat ngangkring, berbagi, refreshing,
dan bahkan menjadi sumber inspirasi. Hal lain yang cukup mengesankan dari para
pengunjung angkringan ini adalah sebagai tempat diskusi dan berkumpulnya
orang-orang dengan berbagai kepentingan. Ide-ide segar, rencana aksi demonstrasi
yang dirancang oleh aktivis kampus. Tempat munculnya ide skripsi dan
penelitian, diskusi politik, maupun sekadar ngobrol
ngalor-ngidul atau gojeg kere, sebutan khas Jogja
untuk bercanda. Angkringan Tugu misalnya menjadi salah satu pilihan jitu berkumpulnya
kalangan aktivis pergerakan mahasiswa, maupun kaum akademisi yang menuntut
ilmu. Selain untuk berdiskusi dan mencetuskan gagasan, banyak dari mereka yang
datang untuk menyegarkan pikiran.
Fenomena sosial inipun mengingatkan kita pada
kata-kata filsuf Aristoteles -- disempurnakan oleh Thomas Aquinas-- “aku memahami
diri begini dan begitu dalam sebuah konfrontasi.” Berkaitan dengan beragama
motivasi tersebut, Parsudi Suparlan dalam konsepsinya mengungkapkan bahwa kebudayaan
adalah perubahan yang terjadi dalam kaitannya dengan sistem ide --yang dimiliki
oleh masyarakat yang tersangkutan-- mencakup hal-hal seperti nilai, selera,
cipta dan rasa. Nyatanya angkringan juga bukan hanya menggambarkan konsep
toleransi atau tepo seliro,
tetapi juga biso rumongso atau bisa mengerti perasaan orang lain
dan berbagi.
Dalam sektor ekonomi, pengelola angkringan
menggunakan sistem ekonomi gotong royong berbasis kearifan lokal. Juragan
angkringan memiliki modal cukup besar namun tak memonopoli seluruh kebutuhan
dagangan anak buahnya, bahkan gerobak juga dimiliki oleh si pedagang. Juragan
biasanya menyediakan barang-barang untuk minuman dan rokok. Sedangkan berbagai
penganan lain disediakan oleh pemasok yang biasanya merupakan tetangganya di
kampung. Dan sedikitnya, setiap angkringan disuplai oleh lima belas pemasok.
Para pedagang kecil pemasok penganan juga menerapkan konsep berbagi. Seorang
pembuat nasi bungkus dengan lauk teri, tidak akan membuat jenis makanan dengan
lauk tempe yang telah dibuat oleh orang lain. Masing-masing punya batas, dan
teritorial. Sistem ekonomi rakyat yang belum terumuskan sebagai teori ekonomi
seperti ini, jelas berbeda dengan berbisnis di sebuah mal yang ketat dan keras
aturan mainnya.
Dan kini jumlah total angkringan di Jogja
diperkirakan lebih dari 1.000 buah, dengan 1.200-an pedagang, serta lebih dari
30.000 warga kampung penyuplai makanan. Menyegani konsep sahaja dan toleransi
dengan kesederhanaannya, pada warung yang dikenal pula dengan Café Ceret Telu
ini, tidak terlepas dari sejarah yang membawanya. Dimulai pada era 1950-an,
Mbah Pawiro seorang pedagang makanan yang berasal dari pelosok Cawas, Klaten,
Jawa Tengah. Hijrah ke Yogyakarta guna mengadu nasib karena tak ada lagi lahan
subur di daerahnya. Beliau menjajakan dagangan dengan pikulan dan
berpindah-pindah di sekitar Stasiun Tugu. Teriakan khas “hiiik..iyeek..” Mbah
Pawiro inilah yang melahirkan isitilah HIK di Solo.
Hingga pada 1969, diwariskan kepada
putranya yakni Lik Man, yang terkenal dengan menu andalan “Kopi Joss”. Yaitu
kopi hitam pekat dicelup dengan arang yang membara atau mowo hingga
terdengarnya bunyi “joss” pada saat bara arang dicemplungkan ke dalam gelas
kopi. Kabarnya, kadar kafein yang terkandung di kopi joss tergolong rendah
karena telah dinetralisir oleh arang yang dicelupkan ke dalam seduhannya. Meski
adapula yang mengatakan kopi tersebut mengandung karsinogen.
Kekhasan kuliner juga bertambah dengan
adanya sego kucing atau nasi kucing, dikatakan demikian karena porsinya yang
hanya segenggam nasi dengan hiasan oseng tempe, sambel teri atau sambel trasi
dan yang lainnya dibalut dengan daun pisang dan kertas koran. Dijajakan pula
gorengan, sate usus dan sate telur puyuh, jadah, jenang, dan wajik. Serta
minuman berupa wedang jahe, susu jahe, wedang tape, teh panas dan sebagainya.
Dan yang menambah motivasi untuk
berkunjung, harga makanan dan minumannya yang sangat murah. Sunguh kenikmatan
yang luar bisa menikmati makanan khas, ditemani hingar bingar malam kota Jogja
dan lantunan bunyi lonceng penanda datang dan berangkatnya kereta. Ditambah
indahnya toleransi dalam kebersamaan dengan banyak orang dari berbagai
kalangan, yang terekam dalam perbincangan di sudut kota ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar