PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman media
massa tumbuh dan berkembang dengan subur, bak jamur dimusim hujan. Era globalisasi memiliki pengaruh
yang kuat disegala dimensi kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan sosial baik secara positif maupun negatif. Perkembangan
teknologi membuat masyarakat terapit diantara dua pilihan. Disatu pihak
masyarakat menerima kehadiran teknologi, di pihak lain kehadiran teknologi
modern justru menimbulkan masalah-masalah yang bersifat struktural yang
kemudian merambah di semua aspek kehidupan masyarakat. Terkait dengan
perkembangan teknologi yang berdampak kearah modernisasi, IPTEK merupakan yang
paling pesat perkembangannya. Salah satu diantaranya yang cukup membuat
masyarakat terkagum-kagum ialah perkembangan teknologi informasi.
Menurut
Praktito (1979: 36) dewasa ini kemajuan teknologi informasi yang menuju kearah
globalisasi komunikasi dirasakan cenderung berpengaruh langsung terhadap
tingkat peradaban masyarakat dan bangsa. Kita semua menyadari bahwa
perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini bergerak sangat pesat dan
telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan
masyarakat di berbagai negara. Kemajuan bidang informasi membawa kita memasuki
abad revolusi komunikasi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Ledakan
Komunikasi” (Subrata, 1992).
Apabila
globalisasi diartikan sebagai perkembangan kebudayaan manusia, maka globalisasi
informasi dan komunikasi yang mucul karena perkembangan teknologi komunikasi,
diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan
meningkatkan kualitas informasi ini tidak mungkin lagi di dibatasi oleh ruang
dan waktu (Wahyudi, 1990).
Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. Maka tidak salah apa yang dikatakan Dennis McQuil bahwa “Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma”.
Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. Maka tidak salah apa yang dikatakan Dennis McQuil bahwa “Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma”.
Arus
informasi yang cepat menyebabkan kita tidak mampu untuk menyaring pesan yang
datang. Akibatnya tanpa sadar informasi tersebut sedikit demi sedikit telah
mempengaruhi pola tingkah laku dan budaya dalam masyarakat. Kebudayaan yang
sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat dalam berperilaku kini hampir
hilang dan lepas dari perhatian masyarakat. Akibatnya, semakin lama
perubahan-perubahan sosial di masyarakat mulai terangkat ke permukaan.
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Literatur
1. Teori
Kontemporer Mengenai Pengaruh Media Massa
Pengaruh
media terhadap masyarakat telah menumbuhkan pembaharuan-pembaharuan yang cepat
dalam masyarakat. Pembaharuan yang berwujud perubahan ada yang ke arah negatif
dan ada yang ke arah positif. Sehubungan dengan hal tersebut, ada
beberapa teori kontemporer yang berkaitan dengan pengaruh komunikasi massa yang
digolongkan dalam empat bagian, yaitu:
o
Teori
Perbedaan Individu
Menurut
teori ini terdapat kecendrungan baru dalam pembentukan watak sesorang melalui
proses belajar. Adanya perbedaan pola pikir dan motivasi didasarkan pada
pengalaman belajar. Perbedaan individu disebabkan karena perbedaan lingkungan
yang menghasilakan perbedaan pandangan dalam menghadapi sesuatu. Lingkungan
akan mempengaruhi sikap, nilai-nilai serta kepercayaan yang mendasari
kepribadian mereka dalam menaggapi informasi yang datang. Dengan demikian
pengaruh media terhadap individu akan berbeda-beda satu sama lain.
o
Teori
Penggolongan Sosial
Penggolongan
sosial lebih didasarkan pada tingkat penghasilan, seks, pendidikan, tempat
tinggal maupun agama. Dalam teori ini dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki
sifat-sifat tertentu yang cenderung sama akan membentuk sikap-sikap yang sama
dalam menghadapi stimuli tertentu. Persamaan ini berpengaruh terhadap tanggapan
mereka dalam menerima pesan yang disampaikan media massa.
o
Teori
Hubungan Sosial
Menurut
teori ini kebanyakan masyarakat menerima pesan yang disampaikan media banyak di
peroleh melalui hubungan atau kontak dengan orang lain dari pada menerima
langsung dari media massa. Dalam hal ini hubungan antar pribadi mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap penyampaian informasi oleh media.
o
Teori
Norma-Norma Budaya
Teori
ini menganggap bahwa pesan/informasi yang disampaikan oleh media massa dengan
cara-cara tertentu dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda oleh masyarakat
sesuai dengan budayanya. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa media
mempengaruhi sikap individu tersebut. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh
media massa dalam mempengaruhi norma-norma budaya. Pertama, informasi yang
disampaikan dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku serta meyakinkan
masyarakat bahwa budaya tersebut masih berlaku dan harus di patuhi. Kedua, media
massa dapat menciptakan budaya-budaya baru yang dapat melengkapi atau
menyempurnakan budaya lama yang tidak bertentangan. Ketiga, media massa dapat
merubah norma-norma budaya yang telah ada dan berlaku sejak lama serta mengubah
perilaku masyarakat itu sendiri.
2. Teori
Media Ekuasi
Teori Media Ekuasi (The Media
Equation Theory) dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass melalui
tulisan mereka yang berjudul The Media Equation : How People Treat
Computers, Television, and New Media Like Real People and Places. Keduanya
merupakan profesor di jurusan Komunikasi Universitas Stanford Amerika. Berdasarkan
teori persamaan media ini (teori ekuasi) Reeves dan Nass menggambarkan
persoalan bagaimana orang-orang secara tidak sadar bahkan secara otomatis
merespon apa yang dikomunikasikan media, seolah media itu manusia.
Teori persamaan media dari Reeves
dan Nass ini mencoba memperlihatkan bahwa media juga bisa diajak berbicara.
Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal
yang melibatkan dua orang dalam situasi face to face. Dalam teori
persamaan ini, media dianggap sebagai bagian dari kehidupan nyata (media and
the real life are the same).
Berdasarkan research program yang
akan dipaparkan di bawah ini, Reeves dan Nass yakin bahwa orang memperlakukan
media komunikasi seperti memperlakukan manusia.
a.
The
Media Equation:
Media = Real Life
Dalam bukunya, The Media Equation,
Reeves dan Nass menggagas bahwa kita menanggapi (response) media komunikasi
seolah-olah media itu hidup. Implikasi praktis dari media equation ini adalah
ketika kita menyalakan TV atau komputer kita, kita mengikuti aturan dari
interpersonal interaction yang kita lalui selama hidup kita. Ini adalah
human-media relations. Reeves dan Nass mengatakan bahwa media equation ini
sifatnya sangat basic atau mendasar, jadi, “it applies to everyone, it
applies often, and it is highly consequential”.
b.
Beyond
Intuition that Protests: “Not Me, I Know A Picture Is Not A Person”
Ketika kita menonton TV atau
browsing internet, tidak seorangpun dari kita yang akan mengakui bahwa kita
sebenarnya tengah merespons gambar-gambar di layar seolah-olah gambar-gambar
itu nyata. Kita tahu bahwa yang ada di layar adalah gambar-gambar imajiner atau
hanya representasi dari benda aslinya. Reeves dan Nass menyatakan sebaliknya.
Keduanya menyatakan bahwa sebenarnya orang merespons media secara sosial (socially)
dan alami (naturally), meskipun mereka mereka tahu itu adalah hal yang
tidak masuk akal untuk dilakukan , dan meskipun mereka tidak berpikir bahwa respons
itu mencirikan diri mereka sendiri. Suatu kondisi di mana perilaku kita tidak
dipengaruhi atau disesuaikan dengan situasi yang kita alami. Di satu sisi kita
bilang “not me” yang merepresentasikan bahwa kita adalah makhluk independen dan
kita sadar bahwa yang kita lihat adalah buatan. Di sisi lain, kita menanggapi
gambar-gambar itu seperti kita tengah melakukan interaksi interpersonal dengan
seseorang.
c.
Otak
Lama Dibodohi Teknologi Baru
Untuk menjelaskan alasan mengapa
manusia menanggapi media secara sosial dan alami, Reeves dan Nass menggunakan
teori langkah evolusi yang lambat. Menurut mereka, otak manusia terlibat hanya
dalam aktivitas dan perilaku sosial, dan melihat semua objek yang dirasakan
adalah benda nyata. Apapun yang kelihatan nyata, menjadi benar-benar nyata.
Jadi sebenarnya kita belum beradaptasi dengan keberadaan media baru sehingga
apapun yang kelihatan nyata, dipersonifikasikan oleh kita.
Orang tentu saja bisa berpikir bahwa
diri mereka tidak primitif dan tidak dapat begitu saja dikontrol media.
Misalnya ketika kita menonton film horror, kita terus berusaha menghilangkan
rasa takut atau rasa sedih kita dengan berkata pada diri sendiri, “ini tidak
nyata. Ini tidak nyata. Ini bohong”. Namun sayangnya, jarang sekali kita
melakukan itu. Kalaupun kita berusaha melakukannya, kita tidak mampu
melakukannya secara konsisten atau terus-menerus ketika gambar-gambar dan
suara-suara itu ada tepat di hadapan kita.
Dalam teori persamaan media ini,
media seperti televisi dan komputer diberlakukan layaknya aktor sosial. Aturan
yang biasanya berlaku dan mempengaruhi perilaku setiap hari individu-individu
dalam berinteraksi dengan orang lain relatif sama ketika orang-orang
berinteraksi dengan komputer ataupun televisi. Begitu pula dengan
persoalan-persoalan sosial. Ketika orang berinteraksi dengan orang lain karena
kesamaan visi misi, keyakinan, status sosial, kebutuhan, atau kepercayaan.
Interaksi antara orang dengan media juga berlaku seperti itu. Saat kita
menonton televisi, kita cenderung memilih tayangan yang memenuhi kebutuhan
kita. Saat kita mengkases internet melalui komputer pun, kita cenderung lebih
mementingkan kebutuhan dan kepercayaan kita.
Selain hal-hal yang berdekatan
dengan kehidupan sosial, secara mengejutkan dalam hasil penelitiannya, sebagaimana
dikutip Griffin, Reeves dan Nass menyatakan bahwa, “Media are full
partiscipants in our social and natural world.” (Griffin, 2003:405). Bagi
Reeves dan Nass, media lebih dari sekedar “tool”. Jika McLuhan
mengatakan bahwa media adalah suatu alat, dan kemudian alat itulah yang
membentuk kita, namun Reeves dan Nass menyatakan bahwa media lebih dari itu.
Bagi mereka yang dinamakan sebagai “tool” sebagai “hardware” yang bisa
dibeli di toko. Sedangkan media, selama ini tidak bisa disamakan dengan
perangkat keras yang mati. Karena media juga memberikan kontribusi dan pengaruh
yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Mereka juga memberikan penekanan bahwa
yang diberikan melalui televisi, komputer, dan bentuk-bentuk media lainnya
adalah sebuah realitas virtual. Oleh karenanya, media bukan hanya sekedar “tool”.
B.
Perubahan
Gaya Hidup Akibat Media Massa
Keberadaaan
media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak
membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang
disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif.
Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat
terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang
seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Media
memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang
manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah
lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut dan
gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca
dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung
masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri
mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau
merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Secara
sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan
menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk
anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi
oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa
maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila taayangan atau
informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh
anak-anak (Amini, 1993).
Dampak
yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya terjadinya
perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial atau nilai-nilai budaya.
Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal
yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain
itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati
dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis.
Dampak
lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme.
Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik
(media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi
prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti
ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian
hari.
Rubrik
dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur
kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar
dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola
tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar
dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam
menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari
luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
C.
Analisis
Pengaruh Media Massa Terhadap Gaya Hidup
Ada tiga hal yang dapat menjelaskan
pengaruh media terhadap perilaku masyarakat. Pertama, Pesan-pesan komunikasi
massa dapat memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku. Kedua, media dapat
menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya
yang ada. Ketiga, media massa dapat merubah norma-norma budaya yang berlaku
dimana perilaku individu-individu dalam masyarakat dirubah sama sekali (De
Fleur, 1991:8). Media massa, lanjut Hartman dan Husband (1974) biasa menyajikan
sejumlah pandangan, tentang mana yang normal, mana yang disetujui atau yang
tidak disetujui. Pandangan ini kemudian diserap oleh individu-individu ke dalam
cara pandang khalayak.
Ø Efek
Media dan Gaya Hidup
Efek media, sebagian besar merupakan
efek yang dikehendaki komunikator: efek-efek bersifat jangka pendek (segera dan
temporer); efek-efek itu ada kaitannya dengan perubahan-perubahan sikap,
pengetahuan maupun tingkah laku dalam individu; efek-efek itu secara relatif
tidak diperantarai. Secara keseluruhan, efek-efek tersebut ada hubungannya
dengan pemikiran tentang suatu “propaganda” (usaha-usaha sadar atau terencana
dalam menggunakan media massa untuk tujuan-tujuan motivasional atau
informasional).
Suatu gaya hidup yang meluber lewat komunikasi massa ini melahirkan pola kehidupan yang demokratis, artinya, suatu gaya hidup tidak lagi menjadi privilege suatu kelompok dalam stratifikasi sosial. Dalam konteks kebudayaan massa, atau biasa juga disebut kebudayaan populer, masyarakat menjadi homogen. Siapa saja dapat mengambil alihnya, dari strata manapun ia berasal, pada saat ia bermaksud mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut.
Suatu gaya hidup yang meluber lewat komunikasi massa ini melahirkan pola kehidupan yang demokratis, artinya, suatu gaya hidup tidak lagi menjadi privilege suatu kelompok dalam stratifikasi sosial. Dalam konteks kebudayaan massa, atau biasa juga disebut kebudayaan populer, masyarakat menjadi homogen. Siapa saja dapat mengambil alihnya, dari strata manapun ia berasal, pada saat ia bermaksud mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut.
Sentuhan budaya tidak langsung tetapi
sangat kuat pengaruhnya, adalah penyebaran informasi dan jaringan komunikasi
yang semakin luas jangkauannya. Dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern, pengaruh media massa kini tidak terbatas di arena-arena sosial yang
terbuka dan bersifat umum,. Melalui siaran radio dan televisi, televisi global,
antena parabola, dan internet pengaruh kebudayaan asing bisa menyusup ke kamar
tidur, menembus dinding-dinding tembok rumah. Tidaklah mengherankan kalau
siaran televisi dan radio maupun media cetak, serta internet yang tidak
mengenal batas-batas lingkungan sosial politik, kebudayaan maupun geografis itu
mengundang reaksi kuat di kalangan masyarakat umum. Meningkatnya intensitas
arus informasi komunikasi itu menimbulkan pertanyaan sampai berapa jauh
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial kebudayaan masyarakat.
Ø Genre
Kaum Muda
Kampus tempat berkumpulnya kaum muda
dari berbagai kalangan adalah sebuah miniatur bagi society yang terus
berkembang. Perkembangan yang ada di dalamnya layak dicermati guna mendapatkan
potret yang lebih jelas tentang pengaruh media pada gaya hidup. Kita tidak
pernah mengalami kesulitan manakala hendak melihat mahasiswa/i yang memberi
“warna rambutnya”. ”rambut gimbal”, ”rambut acak-acakan tidak disisir rapi.”
Tidak jarang kita menjumpai mereka dengan celana “jeans yang robek-robek”
dipangkal paha. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang datang kuliah dengan
pakaian ala “ibu-ibu atau tante-tante“, dan “berdandan ala pesta”. Hal lain
adalah penggunaan bahasa, kosa kata banci ”bergaya lemas dan manja” merebak
dalam percakapan harian mereka, itulah gaya kaula muda.
Sosiolog humanis, Peter L. Berger dalam Ibrahim (1997:226) menyebut gejala demikian sebagai munculnya “urbanisasi kesadaran”. Fenomena kesadaran yang telah terurbanisasikan tersebut disebabkan kemajuan pesat teknologi komunikasi / informasi yang pada gilirannya telah menciptakan wajah baru industrilisasi dan terus merembes ke alam bawah sadar masyarakat sebagai industri kesadaran yang menurut Dennis McQuaill telah mengendalikan publik massa baru. Orang desa bisa terkotakan gaya hidupnya meskipun mereka tidak pernah ke kota. Orang bisa menjadi Barat atau terbaratkan sekalipun mereka belum pernah ke Barat.
Sebuah kelas yang mewariskan suatu genre generasi muda yang memandang bahwa keremajaan atau ke(pe)mudaan merupakan sesuatu yang menarik. Namun mereka menarik bukan karena potensialitas keremajaannya, tapi lebih karena pasar. Mengingat jumlah mereka yang tidak kecil maka semua pemasaran produk budaya massa mulai dari pakaian, makanan, asesoris, bahkan bahasa, dan perangkat artifisial ditujukan pada mahasiswa (kaum yang mewakili pemuda).
Sosiolog humanis, Peter L. Berger dalam Ibrahim (1997:226) menyebut gejala demikian sebagai munculnya “urbanisasi kesadaran”. Fenomena kesadaran yang telah terurbanisasikan tersebut disebabkan kemajuan pesat teknologi komunikasi / informasi yang pada gilirannya telah menciptakan wajah baru industrilisasi dan terus merembes ke alam bawah sadar masyarakat sebagai industri kesadaran yang menurut Dennis McQuaill telah mengendalikan publik massa baru. Orang desa bisa terkotakan gaya hidupnya meskipun mereka tidak pernah ke kota. Orang bisa menjadi Barat atau terbaratkan sekalipun mereka belum pernah ke Barat.
Sebuah kelas yang mewariskan suatu genre generasi muda yang memandang bahwa keremajaan atau ke(pe)mudaan merupakan sesuatu yang menarik. Namun mereka menarik bukan karena potensialitas keremajaannya, tapi lebih karena pasar. Mengingat jumlah mereka yang tidak kecil maka semua pemasaran produk budaya massa mulai dari pakaian, makanan, asesoris, bahkan bahasa, dan perangkat artifisial ditujukan pada mahasiswa (kaum yang mewakili pemuda).
Menurut Ibrahim (1997:227) fenomena
kawula muda memang lebih menarik untuk ditonton dan dipertontonkan, seperti
kisah-kasih atau percintaan dan sukses mereka yang sering menjadi latar dan
setting cerita dalam berbagai lakon sinetron. Latar kehidupan yang dibayangkan
sering tanpa kedalaman. Sukses dan prestasi dianggap sebagai sesuatu yang instant
seketika. Tak pernah mereka mempermasalahkan kesulitan ekonomi. Keluar masuk
rumah dan mobil mewah adalah ciri mereka. Kalau pria, mereka dicitrakan “Inilah
pria idaman”: tampan gesit; Kalau wanitanya, dilukiskan “wanita yang lembut”;
cantik manja.
Kita bangga kalau melihat kawula muda masa kini yang selalu ceria dan tertawa riang. Baru saja mereka saling memikat di pusat perbelanjaan, lalu mereka kencan di pantai, tiba-tiba mereka sudah berdasi di kantor dengan setumpuk map. Sambil tertawa-tawa mendapat tender besar mereka pecahkan semua problem. Seakan-akan dunia ini tanpa masalah. Demikian gambaran suatu cerita sinetron yang menghiasi layar-layar kaca kita.
Gaya hidup enak dan kemudahan-kemudahan selalu terlukis kalau melihat “genre” budaya anak muda ini. Sebagai kawula muda yang kebetulan tengah “menganggur” dan kebetulan juga punya banyak waktu dan duit, mereka punya banyak teman. Dunia hiburan seperti dugem, diskotik, karaoke, identik dengan gaya hidup kawula muda.
Kita bangga kalau melihat kawula muda masa kini yang selalu ceria dan tertawa riang. Baru saja mereka saling memikat di pusat perbelanjaan, lalu mereka kencan di pantai, tiba-tiba mereka sudah berdasi di kantor dengan setumpuk map. Sambil tertawa-tawa mendapat tender besar mereka pecahkan semua problem. Seakan-akan dunia ini tanpa masalah. Demikian gambaran suatu cerita sinetron yang menghiasi layar-layar kaca kita.
Gaya hidup enak dan kemudahan-kemudahan selalu terlukis kalau melihat “genre” budaya anak muda ini. Sebagai kawula muda yang kebetulan tengah “menganggur” dan kebetulan juga punya banyak waktu dan duit, mereka punya banyak teman. Dunia hiburan seperti dugem, diskotik, karaoke, identik dengan gaya hidup kawula muda.
Ø Kosmopolitanisme
Gaya Hidup
Kosmopolitanisme dan globalisasi gaya
hidup yang sering dinisbatkan sebagai imprialisme budaya atau imprialisme
media, telah sering dicap sebagai ciri Amerikanisasi kelompok kelas menengah
ini. Gaya hidup seperti tampak pada sejumlah kawula muda sebagai suatu “genre”
pendukung budaya massa terus merembes bahkan sampai ke kampus-kampus
universitas/institut/akademi yang semula dianggap memiliki pertahanan budaya dan
intelektualitas yang prima.
Sebab, bagaimana mungkin mahasiswa
sekarang sampai merasa perlu menyelenggarakan acara-acara semisal “Gebyar
Kampus”, “Rally kampus”, Konser Rock”, “Pekan Promo” (mungkin ini pengaruh
Posmodernisme yang dipelesetkan menjadi Promo) atau pemilihan semacam
“putra/putri kampus”, yang dengan diam-diam menanamkan kesadaran bahwa kriteria
kecerdasan itu berhubungan erat dengan kecantikan/ketampanan. Padahal di balik
itu, semua orang tahu, kita tidak usah terlalu cerdas hanya untuk memahaminya
bahwa yang beroperasi adalah propaganda pasar kapitalis industrial yang
menjadikan tubuh sebagai pusat kesadaran.
Media, ungkap Malik dalam Sihabudin (1999: 3), telah menjadi semacam tirani kognitif yang terus memiskinkan elemen-elemen budaya tradisionil, terutama yang berlandaskan agama. Fenomena kolonialisme budaya lewat media massa semakin membuktikan kenyataan itu. Sebagai contoh, acara “realigi” , “termehek mehek,” dan beberapa acara sejenis itu, menarik untuk disimak. Program ini secara sistematis menayangkan kasus-kasus kehidupan keluarga, yaitu kasus istri dipukul suami, suami gemar serong, hidup melajang, perilaku seks menyimpang (gay dan lesbian), dan sebagainya.
Media, ungkap Malik dalam Sihabudin (1999: 3), telah menjadi semacam tirani kognitif yang terus memiskinkan elemen-elemen budaya tradisionil, terutama yang berlandaskan agama. Fenomena kolonialisme budaya lewat media massa semakin membuktikan kenyataan itu. Sebagai contoh, acara “realigi” , “termehek mehek,” dan beberapa acara sejenis itu, menarik untuk disimak. Program ini secara sistematis menayangkan kasus-kasus kehidupan keluarga, yaitu kasus istri dipukul suami, suami gemar serong, hidup melajang, perilaku seks menyimpang (gay dan lesbian), dan sebagainya.
Melihat majalah Popular, televisi, dan
radio yang mengumbar konsultasi seks, yang menganggap hubungan suami istri
sebagai instrumen alat-alat mekanis yang harus dipreteli dan dibuka sebebas-bebasnya
(Ibrahim, 1997:227).
Menurut Jones dalam Singarimbun
(1997:210) film, musik, radio, bacaan, dan TV mengajarkan kepada mereka bahwa
seks itu romantis, merangsang, dan menggairahkan. Demikian salah satu gaya
hidup yang ditawarkan media. Lull (1998:84) berpendapat, media massa komersial
amat mempercepat dan mendiversifikasikan pengaruh kekuasaan budaya.
Kekuasaan budaya, yang saya maksudkan di sini kemampuan untuk mendefinisikan suatu situasi secara budaya. Kekuasaan budaya adalah kemampuan individu dan kelompok untuk memproduksi makna dan membangun cara hidup yang menarik bagi indra, emosi, dan pemikiran mengenai diri sendiri dan orang lain.
Kekuasaan budaya, yang saya maksudkan di sini kemampuan untuk mendefinisikan suatu situasi secara budaya. Kekuasaan budaya adalah kemampuan individu dan kelompok untuk memproduksi makna dan membangun cara hidup yang menarik bagi indra, emosi, dan pemikiran mengenai diri sendiri dan orang lain.
Hal ini menyerupai apa yang Anthony
Giddens namakan “politik kehidupan suatu politik pemilihan gaya hidup keputusan
dalam hidup.” Kekuasaan budaya dijalankan ketika orang-orang menggunakan
tampilan-tampilan simbolik, termasuk asosiasi-asosiasi ideologis dan budaya
yang sistematik, struktur otoritas, dan peraturan yang mendasarinya, dalam
strategi aksi budaya. Memang benar bahwa citra-citra simbolik melalui media
mula-mula dikuatkan secara budaya dengan cara lembaga sponsor mengorganisir dan
menyajikan citra-citra itu. Tak heran kalau produksi makna dan nilai-nilai juga
dikuasai dan dikondisikan oleh agen-agen tersebut, yang legitimasi kekuasaannya
dimotori oleh sistem komunikasi massa. Lull (1998:84).
Dalam mendukung gaya hidup baru itu orang butuh figur. Karena itu, para bintang yang disebut Akbar S Ahmed dalam Ibrahim (1997:26) sebagai “filosof of pop budaya pascamodern” seperti Michael Jackson atau Madonna “disembah” di mana-mana. Madonna adalah contoh ketika komodifikasi tubuh menemukan ruang pemadatannya. Ia menjadi figur fantasi yang memutar balikan relasi tanda-tanda mengenai seksualitas, kekuasaan, dan ambiguitas gender.
Dalam mendukung gaya hidup baru itu orang butuh figur. Karena itu, para bintang yang disebut Akbar S Ahmed dalam Ibrahim (1997:26) sebagai “filosof of pop budaya pascamodern” seperti Michael Jackson atau Madonna “disembah” di mana-mana. Madonna adalah contoh ketika komodifikasi tubuh menemukan ruang pemadatannya. Ia menjadi figur fantasi yang memutar balikan relasi tanda-tanda mengenai seksualitas, kekuasaan, dan ambiguitas gender.
Jika dikaitkan dengan pokok tulisan ini,
tidak menutup kemungkinan ekspose yang dilakukan media mengenai gaya hidup para
idola, dan kaum selebritas. Ketika melihat fenomena “berkuasa”nya “icon pop”
seperti Madonna, yang daya tarik “tubuh”-nya telah menggairahkan orang yang
melihatnya. Langsung tidak langsung dapat menempatkan perilaku yang dianggap
menyimpang bisa dapat dipermisifkan oleh gencarnya ekspose media massa.
Gerakan dan perkembangan zaman cukup menambah kadar keberanian para kaum muda memperlihatkan eksistensi mereka dalam bentuk icon kultur pop. Pendobrakan itu muncul ke permukaan dalam bentuk komunikasi pergaulan menengah atas, seni desain dan pertunjukkan. Perhatikan saja kosa kata banci yang merebak di kalangan anak muda Jakarta atau Bali, dan gaya “lemas” para performer di panggung-panggung kafe atau restoran.
Akhirnya, media, seperti dikatakan Jatman (1997: 127) telah menciptakan estetikanya sendiri. Ia tidak hanya dianggap sebagai agen kebudayaan, tetapi ia adalah kebudayaan itu sendiri. Artinya ketika kebiasaan kaum elit yang dalam hal ini adalah para publik figur masuk dalam media ia menjelma sebagai pop culture. Hal ini diperkuat oleh Ade Armando bahwa media turut menset agenda kehidupan konsumen termasuk mempengaruhi apa yang dianggap penting dan tidak penting, apa yang halal, dan haram, apa yang bisa dinikmati dan tidak, melalui proses pembiasan. Sehingga, gaya hidup secara luas dapat kita katakan terbentuk dari pesan media massa yang masuk secara bertubi-tubi dalam kehidupan masyarakat.
Gerakan dan perkembangan zaman cukup menambah kadar keberanian para kaum muda memperlihatkan eksistensi mereka dalam bentuk icon kultur pop. Pendobrakan itu muncul ke permukaan dalam bentuk komunikasi pergaulan menengah atas, seni desain dan pertunjukkan. Perhatikan saja kosa kata banci yang merebak di kalangan anak muda Jakarta atau Bali, dan gaya “lemas” para performer di panggung-panggung kafe atau restoran.
Akhirnya, media, seperti dikatakan Jatman (1997: 127) telah menciptakan estetikanya sendiri. Ia tidak hanya dianggap sebagai agen kebudayaan, tetapi ia adalah kebudayaan itu sendiri. Artinya ketika kebiasaan kaum elit yang dalam hal ini adalah para publik figur masuk dalam media ia menjelma sebagai pop culture. Hal ini diperkuat oleh Ade Armando bahwa media turut menset agenda kehidupan konsumen termasuk mempengaruhi apa yang dianggap penting dan tidak penting, apa yang halal, dan haram, apa yang bisa dinikmati dan tidak, melalui proses pembiasan. Sehingga, gaya hidup secara luas dapat kita katakan terbentuk dari pesan media massa yang masuk secara bertubi-tubi dalam kehidupan masyarakat.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Media
massa pada umunya merupakan sektor pranata modern, yang sampai batas tertentu
adalah asing untuk negara dan kebudayaan negara ketiga. Untuk memasukkannya
diperlukan baik oleh alih teknologi maupun kemampuan adaptasinya terhadap
kebutuhan dunia ketiga (Tharpe, 1992). Secara umum media massa merupakan sarana
penyampaian informasi dari sumber informasi (komunikator) kepada penerima
informasi (komunikan).
Informasi-informasi
yang diterima dari media tersebut mempengaruhi kehidupan sosial budaya suatu
masyarakat baik dalam persepsi sikap serta perilaku hidupnya. Dari
pejelasan-penjelasan diatas, secara tersirat kehadiran media massa telah
memunculkan suatu budaya baru yang menginginkan masyarakat dapat menyesuaikan
diri terhadap budaya tersebut. Budaya ini dikenal dengan sebagai budaya populer
atau budaya pop (Sugihin, 1991). Penyesuaian sikap masyarakat terhadap budaya
populer ini menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam seluruh dimensi
kehidupan masyarakat dan menuntut masyarakat untuk beralih dari masyarkat
tradisional menuju ke masyarakat dengan pola hidup modern.
Keberadaaan
media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak
membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang
disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif.
Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat
terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya
berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Dampak
yang paling kontras dirasakan dikalangan masyarakat ialah perubahan gaya
hidup dan pola tingkah laku yang menuntut masyarakat bersikap serba
instant sehingga menyebabkan terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dalam
kehidupan masyarakat. Media massa mempengaruhi gaya hidup masyarakat untuk
menjadi serupa dengan apa yang disajikan oleh media. Sadar atau tidak
masyarakat pun masuk kedalamnya bahkan menuntut lebih dari itu. Kehadiran media
massa dirasakan lebih berpengaruh terhadap generasi muda yang sedang berada dalam
tahap pencarian jati diri.
Media
memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang
manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah
lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut
dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca
dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung
masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri
mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau
merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Secara
sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan
menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk
anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi
oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa
maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila taayangan atau
informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh
anak-anak (Amini, 1993).
Dampak
yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya terjadinya
perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial atau nilai-nilai budaya.
Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal
yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain
itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati
dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis.
Dampak
lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme.
Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik
(media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi
prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti
ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian
hari.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
B.
Saran
Lembaga-lembaga pemerintah yang bertugas memantau setiap
penayangan media massa, harus bekerja ektras keras untuk membatasi hal-hal dari
rubric-rubrik media massa yang dapat berdampak buruk bagi budaya bangsa. Orang
tua perlu membimbing anak-anaknya dalam menonton setiap program acara atau
informasi yang disajikan media massa, terutama untuk anak-anak yang masih
dibawah umur perlu didampingi oleh orang tuanya.
Pihak dari media massa harus lebih memperhatikan rubrik yang akan disajikan dan sebaiknya menyajikan rubrik yang mendidik sehingga dapat memberi pengaruh yang positif bagi masyarakat.
Pihak dari media massa harus lebih memperhatikan rubrik yang akan disajikan dan sebaiknya menyajikan rubrik yang mendidik sehingga dapat memberi pengaruh yang positif bagi masyarakat.
Pemerintah dan media massa seharusnya menguatkan budaya
bangsa pada diri generasi muda sebagai generasi bangsa. Terutama media massa,
karena para pemegang instansi media massa mampu menciptakan program-program
menarik mengeani budaya bangsa, sehingga dapat dianggap tren oleh masyarakat bangsanya
sendiri.
Sumber:
§ Purwasito, Andrik. 1993. Pengaruh TV
dan Cara Menyikapinya. Kedaulatan Rakyat: Sabtu, 6 November.
§ Debora, Christin. 2009. Pengaruh
Media Massa Dalam Perubahan Sosial. 26 Mei.
§ Doktor
dalam Kajian Komunikasi Pembangunan dan Dekan FISIP Untirta. 2011. Media dan
trend gaya hidup, 14 Januari.
kita juga punya nih jurnal mengenai Media Masa silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/6181/1/DOKUMEN%20PRESENTASI.pdf
Terima kasih banyak :)
BalasHapussalam. kak desy setyowati tolong bantu saya untuk mencari referensi dari pemaparan anda diatas, karna sebagian saya mengutip makalah diatas buat bahan matakuliah metodologi penelitian.
BalasHapustolong dengan sangat bantuannya,
saya dari salah satu mahasiswi UNMUH malang,
trimakasih banyak sebelumnya.
kak, tolong secepatnya ya jawabannya,
Hapussungguh saya tunggu, trmkasih.