Membuat ukiran-ukiran nan menawan dan memesona dalam hidup, hingga
hidup terasa hidup tak semudah yang terpikirkan dalam khayalanku.
Terkadang aku harus menantang diriku sendiri tuk mampu bertahan hidup.
Hingga perasaanku pun berubah-ubah tentang hidup, dimulai dari sebuah
rasa benci, senang, sedih, hingga sering merasa kebingungan menghadapi
semua itu, bahkan tak sekali pula diri ini harus menanggalkan perasaan
demi hidup.
Pilihan pertama tuk mengadu tentu jatuh pada Tuhanku,
Allah SWT sebagai pelindungku. Namun, tak dipungkiri terkadang aku masih
merasa butuh sosok inspirasi tuk kujadikan contoh, dalam peranku
sebagai perempuan. Pilihan itu pun jatuh pada tiga tokoh perempuan,
yaitu Aisyah RA, RA. Kartini dan Dae Jang Geum. Dan saat ini aku ingin
berbagi sedikit kisah tentang mereka, dalam lebur ceritaku...
Aisyah radhiyallahu anha
Aisyah
binti Abu Bakar, putri seorang khalifah pertama dan merupakan istri
ketiga Nabi Muhammad SAW. Jika Khadijah memesona karena kematangan
jiwa-nya, maka Aisyah memberikan gabungan pesona kecantikan, kecerdasan
dan kematangan dini kepada setiap insan yang melihatnya. Didalam hadits
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama yang
terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah .”
Pesona
sejati itu lahir dari sebuah kepribadian yang matang, kuat tapi
meneduhkan. Di sinilah seseorang dapat mengatakan, “rumahku surgaku”.
Ketika sedang berada di dalamnya, ia menjadi sumber energi untuk
berkarya di luar. Ketika berada di luarnya, selalu ada kerinduan untuk
kembali.
Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah,
sehingga ia banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau,
sebagairnana perkataannya ini: “Aku pernah melihat wahyu turun kepada
Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak
sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau” (HR.
Bukhari)
Ia bak penunjuk arah di langit sejarah, karena banyaknya
jumlah hadits yang beliau hafal dari Rasulullah dan kepahamannya tentang
fiqih. Hingga menjadi rujukan utama bagi sahabat Rasul yang lain,
setelah Rasulullah wafat. Bahkan Aisyah pernah memimpin 30 ribu pasukan
dari Makkah dalam perang Unta (Ashhab alJamal)...Subhanallah...
Raden Adjeng Kartini
Putri
pertama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara dan M.A.
Ngasirah ini, memiliki pemikiran-pemikiran yang menakjubkan. Melalui
surat-suratnya, ia ungkapkan keluhan dan gugatan, khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia
ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini
menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan
Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga
Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en
Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah
air).
Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap
keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan
penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa
bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan
laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Kemudian
persoalan agama tak luput dari kritikannya. Ia mempertanyakan mengapa
kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk
dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih
damai, jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk
berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita
daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang
atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang
dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi
Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya
sebatas tembok rumah.
Dan masih banyak lagi pemikiran RA. Kartini
guna kemajuan perempuan Indonesia kala itu, bersyukur karena Indonesia
memiliki seseorang sepertinya, termasuk aku. Mungkin bagi yang lain dia
adalah seseorang, tapi bagiku perempuan Indonesia, dia adalah dunia.
Sumber: www.wikipedia.com
Dae Jang Geum
Mungkin
sosok yang satu ini kurang dikenal di Indonesia, karena ia berasal dari
Korea. Tokoh nyata dalam catatan sejarah Dinasti Joseon dan dokumen
medis dari masa itu, ia menjadi dokter kerajaan perempuan pertama di
Korea. Berawal dari sebuah perjuangannya untuk menjadi Dayang Istana
atas keinginan ibunya, agar Jang-geum menjadi Juru Masak Kepala di dapur
kerajaan dan mencatat kasus Ibunya, dalam catatan sejarah rahasia kaum
perempuan di dapur (dengan maksud mengembalikan kehormatan ibunya
sebagai dayang istana sebelum diusir dan kemudian menikah).
Perjalanan
hidupnya sebagai seorang Dayang Istana hingga menjadi Dokter Kerajaan,
yang membuat ku kagum. Karena kepandaiannya ia dijauhi banyak orang yang
iri padanya, bahkan tak segan-segan percobaan pembunuhan juga
menghampiri dirinya. Tapi semangat dan kegigihannya begitu kuat dan
nampak, terlihat dari lika-liku hidupnya. Beberapa kali di fitnah,
dicoba tuk dibunuh, terkena hukuman cambuk bahkan diasingkan dipulau
terpencil.
Hukuman pengasingan di pulau terpencil dijadikan batu
sandungan tuk kembali maju. Ia belajar pengobatan bahkan menemukan
ramuan-ramuan baru untuk ilmu kedokteran. Hal itu pula yang
mengantarkannya kembali ke istana namun sebagai seorang Perawat Istana.
Gabungan dari kepandaian, semangat dan kegigihan seorang perempuan, ia
mampu menggapai bintang yang banyak diinginkan orang. Sebuah sejarah
baru ia ukir, yaitu menjadi Dokter Perempuan pertama dalam Kerajaan pada
masanya.
Mungkin dari ketiga tokoh diatas yang mampu terlukis
dalam pikiranku adalah sosok Dae Jang Geum ini. Karena kisahnya yang
diadopsi dalam sebuah film berjudul ‘Jewel in The Palace’. Semangat dan
kegigihannya dibuat secara nyata hingga mampu tergambar jelas dalam
pikiranku. Tak pelak aku sering menempatkan diriku pada dirinya, dalam
hati aku bertanya ‘apa yang akan ia (Jang Geum) lakukan jika ia berada
dalam keadaan ku saat ini?’.
Begitulah kisah mereka,
perempuan-perempuan hebat yang mampu mengukir hidup mereka secara
sempurna penuh gejolak jiwa...Menjadikan lembah-lembah curam tertunduk
malu menyaksikan kisah hidup mereka. (◦'ں'◦) Mampukah aku mengukir
hidupku dengan indah namun menggugah gairah jiwa???
Pemikiran nenek moyang tentang hidup menjadi kunci setiap bentuk kehidupan saat ini
Jumat, 05 Oktober 2012
Angkringan, Sekadar Canda Hingga Diskusi Soal Negara
Berpikir tentang Indonesia, tentu identik dengan keberagaman
sumber daya alam dan manusianya. Mengarahkan pula pemikiran pada falsafah
gotong royong dan toleransi di negeri ini. Bicara Indonesia, falsafah, dan
keaneka ragaman ini, teringat pada suatu konsep kebersahajaan di sudut kota
Jogja. Angkringan, secara harfiah berasal dari bahasa Jawa yaitu angkring, yang
berarti duduk santai. Sebuah gerobak dorong dengan tungku kayu, menjual berbagai
macam makanan dan minuman. Biasanya terdapat di setiap pinggir ruas jalan di
Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dan lebih dikenal dengan warung Hidangan Istimewa
ala Kampung di kota Solo.
Gerobag angkringan inipun biasanya membawa
tiga buah ceret besar sebagai lokomotif utama, untuk menghidangkan minuman. Beroperasi
mulai sore hari, mengandalkan penerangan tradisional yaitu lampu teplok yang
memberi warna remang-remang eksotis. Juga diiringi oleh terangnya lampu
jalanan. Kursi kayu panjang mengelilingi sekitar gerobak, beratapkan kain
terpal plastik yang dapat digulung menambah keunikan dari angkringan.
Yang menarik dari warung berlokasi dekat kawasan Malioboro ini, adalah
konsep sahaja penuh kesederhanaan. Tempat berkumpul banyak orang dengan
berbagai latar belakang usia, pekerjaan, dan budaya tanpa mengenal batas. Dari
rombongan kawula muda gaul bermobil mewah hingga para pemuda kumal bersepeda
ontel, laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda, tumpah ruah dengan
kehangatan senyum dan canda tawa dalam perbincangan mereka di warung ini.
Menikmati makanan sembari berbincang hingga larut malam meski tak saling kenal,
dipadu padankan dengan indahnya malam diterangi lampu berwarna kuning. Atau
sekadar berkumpul dengan teman, hingga datang hanya untuk melepas lelah atau
menghilangkan jenuh setelah seharian beraktifitas.
Angkringan kini tak hanya sekedar tempat
makan, melainkan tempat ngangkring, berbagi, refreshing,
dan bahkan menjadi sumber inspirasi. Hal lain yang cukup mengesankan dari para
pengunjung angkringan ini adalah sebagai tempat diskusi dan berkumpulnya
orang-orang dengan berbagai kepentingan. Ide-ide segar, rencana aksi demonstrasi
yang dirancang oleh aktivis kampus. Tempat munculnya ide skripsi dan
penelitian, diskusi politik, maupun sekadar ngobrol
ngalor-ngidul atau gojeg kere, sebutan khas Jogja
untuk bercanda. Angkringan Tugu misalnya menjadi salah satu pilihan jitu berkumpulnya
kalangan aktivis pergerakan mahasiswa, maupun kaum akademisi yang menuntut
ilmu. Selain untuk berdiskusi dan mencetuskan gagasan, banyak dari mereka yang
datang untuk menyegarkan pikiran.
Fenomena sosial inipun mengingatkan kita pada
kata-kata filsuf Aristoteles -- disempurnakan oleh Thomas Aquinas-- “aku memahami
diri begini dan begitu dalam sebuah konfrontasi.” Berkaitan dengan beragama
motivasi tersebut, Parsudi Suparlan dalam konsepsinya mengungkapkan bahwa kebudayaan
adalah perubahan yang terjadi dalam kaitannya dengan sistem ide --yang dimiliki
oleh masyarakat yang tersangkutan-- mencakup hal-hal seperti nilai, selera,
cipta dan rasa. Nyatanya angkringan juga bukan hanya menggambarkan konsep
toleransi atau tepo seliro,
tetapi juga biso rumongso atau bisa mengerti perasaan orang lain
dan berbagi.
Dalam sektor ekonomi, pengelola angkringan
menggunakan sistem ekonomi gotong royong berbasis kearifan lokal. Juragan
angkringan memiliki modal cukup besar namun tak memonopoli seluruh kebutuhan
dagangan anak buahnya, bahkan gerobak juga dimiliki oleh si pedagang. Juragan
biasanya menyediakan barang-barang untuk minuman dan rokok. Sedangkan berbagai
penganan lain disediakan oleh pemasok yang biasanya merupakan tetangganya di
kampung. Dan sedikitnya, setiap angkringan disuplai oleh lima belas pemasok.
Para pedagang kecil pemasok penganan juga menerapkan konsep berbagi. Seorang
pembuat nasi bungkus dengan lauk teri, tidak akan membuat jenis makanan dengan
lauk tempe yang telah dibuat oleh orang lain. Masing-masing punya batas, dan
teritorial. Sistem ekonomi rakyat yang belum terumuskan sebagai teori ekonomi
seperti ini, jelas berbeda dengan berbisnis di sebuah mal yang ketat dan keras
aturan mainnya.
Dan kini jumlah total angkringan di Jogja
diperkirakan lebih dari 1.000 buah, dengan 1.200-an pedagang, serta lebih dari
30.000 warga kampung penyuplai makanan. Menyegani konsep sahaja dan toleransi
dengan kesederhanaannya, pada warung yang dikenal pula dengan Café Ceret Telu
ini, tidak terlepas dari sejarah yang membawanya. Dimulai pada era 1950-an,
Mbah Pawiro seorang pedagang makanan yang berasal dari pelosok Cawas, Klaten,
Jawa Tengah. Hijrah ke Yogyakarta guna mengadu nasib karena tak ada lagi lahan
subur di daerahnya. Beliau menjajakan dagangan dengan pikulan dan
berpindah-pindah di sekitar Stasiun Tugu. Teriakan khas “hiiik..iyeek..” Mbah
Pawiro inilah yang melahirkan isitilah HIK di Solo.
Hingga pada 1969, diwariskan kepada
putranya yakni Lik Man, yang terkenal dengan menu andalan “Kopi Joss”. Yaitu
kopi hitam pekat dicelup dengan arang yang membara atau mowo hingga
terdengarnya bunyi “joss” pada saat bara arang dicemplungkan ke dalam gelas
kopi. Kabarnya, kadar kafein yang terkandung di kopi joss tergolong rendah
karena telah dinetralisir oleh arang yang dicelupkan ke dalam seduhannya. Meski
adapula yang mengatakan kopi tersebut mengandung karsinogen.
Kekhasan kuliner juga bertambah dengan
adanya sego kucing atau nasi kucing, dikatakan demikian karena porsinya yang
hanya segenggam nasi dengan hiasan oseng tempe, sambel teri atau sambel trasi
dan yang lainnya dibalut dengan daun pisang dan kertas koran. Dijajakan pula
gorengan, sate usus dan sate telur puyuh, jadah, jenang, dan wajik. Serta
minuman berupa wedang jahe, susu jahe, wedang tape, teh panas dan sebagainya.
Dan yang menambah motivasi untuk
berkunjung, harga makanan dan minumannya yang sangat murah. Sunguh kenikmatan
yang luar bisa menikmati makanan khas, ditemani hingar bingar malam kota Jogja
dan lantunan bunyi lonceng penanda datang dan berangkatnya kereta. Ditambah
indahnya toleransi dalam kebersamaan dengan banyak orang dari berbagai
kalangan, yang terekam dalam perbincangan di sudut kota ini.
Jamu dalam Setiap Fase Kehidupan
"Let your food be
your medicine and let your medicine be your food,”
sebuah adagium dari seorang Bapak Kedokteran Yunani, Hippocrates. Menyiratkan makna bahwa kita
seharusnya bijak dalam memilih makanan, agar tubuh pun mampu melindungi diri
dari beragam serangan penyakit. Ia pun percaya bahwa semua penyakit memiliki
penyebab alami, dan dibutuhkan bahan alami agar tubuh mampu memulihkan diri.
Berandai pada saat manusia lahir dalam keadaan fitrah yang terasa manis. Kata "kunir" di atas, diambil dari representasi warna kulit penduduk Indonesia, yakni sawo matang atau semu kuning. Sedangkan "asam" sebuah gambaran ketika beranjak remaja. Beralih ke fase Pra-Dewasa, yang dianalogikan dengan jamu Beras Kencur yang terasa pedas. Bila dibedah, kata ini menjadi Bebering Alas Tan Kena Diukur yang berarti luasnya 'dunia' belum bisa dikira-kira. Memasuki gerbang kedewasaan dengan rasa ingin tahu yang besar dan sikap egoisme yang mulai muncul.
Kemudian Pahitan, representasi dari masa klimaks dalam menghadapi kehidupan. Berbekal pendidikan budi pekerti yang telah diresapi sejak balita, ditunjang dengan rasa keingintahuan yang besar di masa remaja, membuat diri semakin kuat dan survive dalam menghadapi hidup yang sebenarnya.
Setelah itu menemui suatu perjalanan hidup yang landai sebagai sebuah resolusi hidup. Fase untuk menikmati masa keemasan, ketika telah memiliki pasangan hidup, meraih semua angan-angan yang pernah terpendam, dan berusaha lebih berarti bagi lingkungan. Inilah filosofi dari sebuah jamu "kunci suruh". Kunci merupakan sebuah bumbu penyedap makanan, sedangkan suruh memiliki banyak khasiat dan penyembuh berbagai macam penyakit.
Dalam melanjutkan perjalanan resolusi kita ini, ada “kudu laos”. Sebuah jamu penghangat, yang mampu menghidupkan rasa kekeluargaan. Pada masa inilah kadang kala kita sering merasa lupa dan kurang bersyukur akan rizqi yang telah diperoleh.
Lalu uyup-uyup atau gepyokan merupakan sebuah jamu penetral sekaligus bersifat rehabilitatif bagi seseorang yang telah sembuh dari penyakit berat. Bersifat mendinginkan adalah karakter jamu ini. Sebuah kepasrahan tulus dari seorang hamba kepada Tuhannya merupakan representasi nyata kehidupan seseorang sebelum memasuki alam non fana, yang tergambar dalam aroma khas jamu ini, yakni aroma tawar sedikit manis. Dan perjalanan berakhir pada “sinom” dapat diartikan sirep tanpa nampa yang bermakna diam atau tertidur tanpa meminta apapun.
Kita mungkin beruntung,
kekayaan budaya bangsa telah mewariskan sebuah konsep pengobatan alami, yang
kita kenal dengan jamu.
Dengan memanfaatkan kekayaan alam, jamu berkhasiat
untuk mengatasi masalah kesehatan, bahkan untuk mempercantik tubuh.
Kegiatan meramu dan meracik
ramuan tumbuh-tumbuhan asli nusantara, sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sejak periode
kerajaan Hindu-Jawa. Istilah ‘jamu’ sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno,
yaitu “Jampi” atau “Usodo” yang berarti penyembuhan menggunakan ramuan
obat-obatan maupun doa dan ajian-ajian.
Pada
masanya, jamu merupakan minuman kebesaran raja sekaligus trendsetter bagi
para pembesar dan mitra kerajaan di luar Majapahit. Tradisi minum jamu ini
dimulai dari Brawijaya ke III yang kemudian diteruskan oleh cucunya Brawijaya
ke V. Dan di akhir periode Majapahit, Raden Fatah, seorang Pendiri Kerajaan Demak
Bintara, mulai mempromosikan jamu sebagai ilmu sekaligus tatanan sakral kehidupan keraton.
Hingga
akhirnya, rakyat kecil memiliki kesempatan untuk menikmati minuman nusantara
ini. Dan jamu bukan lagi menjadi minuman kebesaran, melainkan minuman
kebersamaan dalam lokalitas budaya Jawa. Hingga saat ini pun tradisi itu
tertuang dalam "Serat Kawruh Bab
Jampi-jampi Jawi", berisi tentang resep racikan jamu yang muncul pertama
kali pada 1831. Naskah asli buku tersebut pun tersimpan rapi di Sonopoestoko
Kraton Susuhunan Surakarta. Pada masa pemerintahan Paku Buwono X juga ditulis
buku mengenai resep jamu, yaitu "Primbon Jampi Jawi", yang bahkan
saat ini sudah ditulis dalam huruf latin.
Bukti
lain telah dikenalnya pengobatan tradisional oleh masyrakat Mataram Kuno,
digambarkan pada salah satu relief “husada” di Candi Borobudur, pada tahun 772
M. Serta adanya prasasti
Madhawapura, peninggalan kerajaan Hindu-Majapahit yang menyebut adanya profesi
“tukang meracik jamu” yang disebut Acaraki bernama Ra Tanca atau
Prapanca, ahli pengobatan yang sangat terkenal pada zamannya.
Menyegani jamu tak hanya terletak
pada khasiatnya, tapi juga pada makna filosofinya. Dalam
bukunya, Healthy Lifestyle with Jamu, Dr Martha Tilaar mengemukakan
bahwa jamu diperlukan dalam siklus kehidupan. Mulai dari bayi dan anak-anak,
remaja, dewasa, dan mereka yang berusia lanjut.
Filosinya
pun digambarkan pada pedagang jamu gendong yang selalu membawa jamu dalam
jumlah delapan jenis, yaitu Kunir Asam, Beras Kencur, Cabe Puyang, Pahitan, Kunci
Suruh, Kudu Laos, Uyup-Uyup atau Gepyokan, dan Sinom. Merupakan representasi
konsep delapan arah mata angin sekaligus salah satu lambang surya Majapahit ri
Wilwatikta. Diharapkan melalui media jamu yang mengakar pada jati diri
masyarakat, Bangsa Indonesia dapat mencapai puncak kejayaan seperti pada zaman
Majapahit. Kedelapan jenis jamu ini juga merupakan urutan ideal dalam meminum
jamu dimulai dari manis-asam, sedikit pedas-hangat, pedas, pahit, tawar, hingga
manis kembali.
Berandai pada saat manusia lahir dalam keadaan fitrah yang terasa manis. Kata "kunir" di atas, diambil dari representasi warna kulit penduduk Indonesia, yakni sawo matang atau semu kuning. Sedangkan "asam" sebuah gambaran ketika beranjak remaja. Beralih ke fase Pra-Dewasa, yang dianalogikan dengan jamu Beras Kencur yang terasa pedas. Bila dibedah, kata ini menjadi Bebering Alas Tan Kena Diukur yang berarti luasnya 'dunia' belum bisa dikira-kira. Memasuki gerbang kedewasaan dengan rasa ingin tahu yang besar dan sikap egoisme yang mulai muncul.
Lalu
beranjak pada masa dimana diri harus lebih banyak menata diri dan bertanggung
jawab atas apa yang diucapkan. Berusaha konsisten akan visi yang akan kita
capai, bukan bersikap plin-plan . Rasa pedas dan pahitnya dunia
sudah mulai dirasakan seperti rasa “cabe puyang”.
Kemudian Pahitan, representasi dari masa klimaks dalam menghadapi kehidupan. Berbekal pendidikan budi pekerti yang telah diresapi sejak balita, ditunjang dengan rasa keingintahuan yang besar di masa remaja, membuat diri semakin kuat dan survive dalam menghadapi hidup yang sebenarnya.
Setelah itu menemui suatu perjalanan hidup yang landai sebagai sebuah resolusi hidup. Fase untuk menikmati masa keemasan, ketika telah memiliki pasangan hidup, meraih semua angan-angan yang pernah terpendam, dan berusaha lebih berarti bagi lingkungan. Inilah filosofi dari sebuah jamu "kunci suruh". Kunci merupakan sebuah bumbu penyedap makanan, sedangkan suruh memiliki banyak khasiat dan penyembuh berbagai macam penyakit.
Dalam melanjutkan perjalanan resolusi kita ini, ada “kudu laos”. Sebuah jamu penghangat, yang mampu menghidupkan rasa kekeluargaan. Pada masa inilah kadang kala kita sering merasa lupa dan kurang bersyukur akan rizqi yang telah diperoleh.
Lalu uyup-uyup atau gepyokan merupakan sebuah jamu penetral sekaligus bersifat rehabilitatif bagi seseorang yang telah sembuh dari penyakit berat. Bersifat mendinginkan adalah karakter jamu ini. Sebuah kepasrahan tulus dari seorang hamba kepada Tuhannya merupakan representasi nyata kehidupan seseorang sebelum memasuki alam non fana, yang tergambar dalam aroma khas jamu ini, yakni aroma tawar sedikit manis. Dan perjalanan berakhir pada “sinom” dapat diartikan sirep tanpa nampa yang bermakna diam atau tertidur tanpa meminta apapun.
Itulah
sebuah gambaran perjalanan hidup manusia, dalam filosofi jamu. Dimana tradisi
minum jamu pun memberikan makna bahwa setiap manusia haruslah menghargai hidup.
Bukan hanya untuk kesehatan jasmani tetapi juga rohani. Dan jamu adalah
gabungan antara pengetahuan dan keterampilan dimasa masyarakatnya yang belum
mengenal tulisan. Sehingga ditransformasikan dari generasi ke generasi melalui
tembang, seperti Serat Centhini.
Sumber:
Djamoe.Blogspot.com/Sejarah
Jamu
Madaisking.Blogspot.com/Jamu:
sebuah filosofi dan representasi budaya
Female,
Kompas.Com
Suharmiati
dan Lestari Handayani, Meracik Jamu Perpaduan Antara Seni dan Pengetahuan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan
Teknologi Kesehatan.
massage-techniques.suite101.com
The
essence of Indonesia spa: spa Indonoesia jawa dan bali, 2009, gramedia pustaka
utama.
Masa Depan Media Cetak?
“Apakah media cetak masih akan tetap bertahan dalam
kurun 10-20 tahun ke depan?Bill Gates pernah meramalkan jika pada tahun 2000,
media cetak akan mati. Nyatanya sampai sekarang media cetak masih terus
bertahan dan diyakini akan tetap ada hingga sampai kelak manusia tidak
memerlukan lagi. Philip Meyer penulis buku Vanishing Newspaper (2004) bahkan
meramalkan di Amerika Serikat, koran terakhir akan terbit pada kuartal pertama
2043.
SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) melakukan sebuah penelitian
bertajuk masa depan media cetak di Indonesia, pada 23-29 Juni 2010 melibatkan
2.971 responden. Mayoritas responden membeli surat kabar secara eceran 64,2%,
disusul majalah 24,5% dan tabloid 20%.
Kemudian dari tahun ke tahun tren harga berlangganan
media cetak terus merangkak naik, nyaris tak pernah ada penurunan harga.
Sehingga koran melakukan strategi ‘Koran seceng’ atau koran seribu rupiah untuk
mengatasi koran baru di pasar.
Kemudian sebanyak 91,4% responden membaca koran daerah
sedangkan untuk koran nasional hanya 8,6%. Karena segmen pembaca surat kabar
nasional di Indonesia umumnya adalah masyarakat yang berlatar belakang sosial
ekonomi status menengah ke atas, dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi.
Pembaca koran daerah, latar perbandingan lurus dengan populasi penduduk yang
memiliki sosial ekonomi status menengah ke bawah dan tingkat pendidikan rendah.
Untuk saat ini dengan hadirnya media online dengan
penetrasi browser yang meningkat, media cetak mengalami penurunan tajam dalam
hal penetrasi (menerobos) pembaca, billing iklan media cetak yang dimonitor
Neilson Indonesia justru meningkat pesat. Pada tahun 2009, market share iklan
media cetak tumbuh 23%, dengan volume Rp 8,2 triliun.
Lalu apa yang harus dilakukan media cetak di zaman
digital ini? Ika Jatmikasari Associate Director Neilson Media Indonesia
menyarankan delapan langkah strategi (2009):
1. Membangung kanal internet
dan melakukan reportase dalam beragam platform. Mengutip Jay Rosen seorang
profesor jurnalism dalam New York University saat ini reporter koran harus
mampu menulis atau melaporkan berita dari berbagai platform. Dan bukan cuma
dari satu platform saja. Mengapa harus demikian?pasalnya teknologi telah
mengubah cara orang dalam mengkonsumsi berita. Banyak diantara konsumen memang
masih memperoleh informasi melalui media cetak. Namun banyak pula diantara
konsumen yang telah berpindah untuk mendapatkan informasi melalui berbagai
media sekaligus, seperti televisi, telepon seluler dan internet.
2. Menjadi niche media, model
media massa tidak lagi bisa bekerja sebagai model internet, dan kini semakin
banyak orang menemukan subjek dan bidang spesifik yang lebih menarik melalui
internet.
3. Integrasi laporan yang
real-time. Jaringan sosial media (facebook, twitter,dll) telah menuntut
audience untuk menyampaikan berita yang mereka buat sendiri. Koran dapat
menggunakan media sosial ini untuk menyampaikan berita hangat tiap hari.
4. Mendorong inovasi.
5. Berinvestasi di bidang modal
device. Lebih banyak orang ini mengunakan telfon pintar dan memanfaatkannya
untuk saling berkoneksi. Dari hal inilah, terdapat potensial pendapatan yang
bisa diperoleh. Media bisa mengutip kepada setiap pelanggan yang mengunduh
aplikasi dari media tersebut, seperti halnya ketika memungut kepada pelanggan
koran.
6. Berkomunikasilah dengan
pembaca muda. Media sosial (facebook, twitter,dll) telah medorong orang untuk
dan berkomentar terhadap apapun. Anda ingin membaca koran berkomentar atau
mengirim respon terhadap apa yang ingin mereka baca ? satu hal yang perlu
diperhatikan untuk membuat publik menilai sebuah koran adalah ketika koran itu
memberikan “nilai” (value) kepada publik. Media harus berinteraksi dengan
publik.
7. Membangun komunitas. Surat
kabar (dan versi web mereka) terlalu sederhana untuk diharapkan sekedar
menyampaikan informasi. Media juga harus menciptakan komunitas. Manfaatkanlah
media sosial untuk membangun komunitas (koran) anda. Dengan menciptakan
komunitas, anda telah menciptakan hubungan yang royal dengan para pemaca.
8. Berlangganan atau gratis ?
haruskah versi online surat kabar mengutip dari pembaca yang hendak mengaksesnya
? apa model terbaik untuk hal ini ? rupert murdoch, CEO News Corp ., mulai memungut
bayaran dari pembaca untuk semua informasi dari wabsite. Mengapa ? surat kabar
perlu menciptakan nilai bagi pembacanya. Dan menyediakan layanan yang orang mau
untuk membayarnya !
Sungguhpun
demikian, ini tidak berarti internet akan menggeser media cetak dalam kurun
beberapa puluh tahun kedepan sebagaimana ditanyakan beberapa pakar. Kevin Sablan
(orange county register) misalnya “berpijak dari pengalaman puluhan tahun dan
mitos kuno tentang kantor yang tanpa kertas (paperless), saya tidak yakin media
cetak akan pergi dari kehidupan saya . “ sementara Mathew Ingram (the globe and
mail), berpendapat , “saya tidak berfikirweb site akan sepenuhnya pernah
menggantikan koran. Saya masih mengira akan selalu ada orang yang menginginkan
media cetak untuk berbagai alasan, termasuk kenyamanan, kemudahan menenteng,
dll. “
Sebuah
pendapat lain datang dari Paul Bradshaw (professor jurnalisme dari Birmingham
University). “Surat kabar sebagai sebuah platform memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan website, baik secara teknikal maupu kultural dan surat kabar cukup
fleksibel untuk beradaptasi.
Tiga tahun
lalu, survei multimedia yang dilakukan Group of Magazine KG, merilis pengguna
internet di Indonesia sudah mencapai 30 juta pengguna, ini tentu menandakan
jika arus informasi melalui internet sudah sangat gencar dan diyakini akan
menjadi salah satu batu sandungan bagi media cetak. Bahkan, ini juga sudah
menjadi sebagian pendapat dari orang-orang yang bergelut di dunia usaha. Asumsi
ini, memang tak ada salahnya. Terbukti, di Amerika Serikat (AS) sendiri, sejak
tiga tahun lalu, sejumlah surat kabar ternama AS seperti Chicago Tribune,
Philadelphia Inquirer, Seattle Post Intelligencer dan The Minneapolis Star
mengalami kebangkrutan, kendati saat itu, pemicunya diduga akibat krisis
ekonomi yang melanda AS dan negara-negara lainnya, namun tak sedikit juga
pengamat menyimpulkan jika kebangkrutan itu akibat usaha media cetak tersebut
kalah bersaing dengan portal berita online, bahkan beberapa dari usaha media
cetak tersebut justru lari ke media online sebagai jalan keluar agar tetap
eksis. Memang catatan di atas, untuk sementara dapat membuktikan jika media
online secara bertahap telah sedikit banyaknya mampu menggerus industri media
cetak. Tapi, di Indonesia, media online dinilai tak akan mematikan media cetak,
peluang untuk berkembang dan mempertahanakan diri masih terbuka lebar, itu
karena media cetak merupakan jalan utama bagi masyarakat untuk mendapatkan
informasi dan berita. Selain itu, media cetak di Indonesia sudah dianggap
sebagai budaya dan kebiasaan masyarakat sejak dulu.
Peluang media
cetak untuk tetap eksis dan menjadi mainstream informasi dan berita,
yaitu:
1.
Membaca media cetak seperti koran dan majalah sudah
menjadi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat sejak dulu. Salah satunya sebagai
teman dalam ritual meminum teh atau kopi di pagi hari. Ini menunjukkan bahwa
masyarakat membaca media cetak bukan hanya untuk mendapatkan informasi dan
berita tapi sudah menjadi suatu kebiasaan rutin.
2.
Walaupun telat sehari dalam pemberitaan,
keakuratan content informasi dan berita media cetak dinilai lebih unggul
dibanding dengan media online. Hal ini disebabkan media cetak lebih
matang dalam menyajikan sebuah informasi dan berita karena waktu untuk mengolah
dan mendapatkan keakuratan sebuah informasi dan berita lebih banyak. Beda
halnya dengan media online yang terkadang hanya mengejar waktu tayang
tanpa memedulikan kualitas informasi dan berita yang disajikan. Sehingga
masyarakat yang ingin mendapatkan atau mengkonsumsi informasi dan berita yang
berkualitas dan akurat akan tetap mengandalkan media cetak sebagai sumber
utama.
3.
Terkait dengan tantangan media cetak untuk lebih
menyelaraskan dengan teknologi internet seperti yang dilakukan KOMPAS dengan QR
Code-nya, media cetak akan mendapatkan porsi yang sama dengan porsinya saat ini
sebagai sumber ionformasi dan berita. Tentunya dengan inovasi dan terobosan
baru.
Namun, Jika
sebuah media cetak tetap mempertahankan sifat konvensional seperti yang masih
terjadi pada beberapa media cetak di Indonesia, maka tak mustahil jika media online
akan menjadi alternatif masyarakat untuk mendapatkan sebuah berita dan
informasi.
Dalam pemasangan iklan guna
pemasukan media cetak juga terdapat beberpa keunggulan daibanding media
lainnya, seperti televisi, radio bahkan media online. Keunggulan majalah
sebagai media iklan suatu produk, yaitu:
1. Selektivitas
Yaitu
kemampuan media ini untuk menjangkau khalayak audiens secara selektif.
Kebanyakan majalah diterbitkan untuk khalayak tertentu yaitu kelompok khalayak
yang memiliki minat khusus terhadap suatu hal. Indonesia dewasa ini memiliki
majalah dengan isi cukup bervariasi yang menjangkau pembaca yang memiliki
beragam latar belakang termasuk juga majalah untuk bisnis dan industri.
Di
Amerika Serikat majalah kategori olahraga merupakan majalah yang paling banyak
diterbitkan setiap tahun. Di Indonesia majalah untuk wanita masih mendominasi
pasaran walaupun kategori lain menargetkan kelompok pembaca dengan minat khusus
sudah mulai banyak bermunculan. Dimana terdapat segmentasi berdasarkan
demografis, geografis, psikografis dan sebagainya.
2. Kualitas Produk
Atribut
paling berharga yang dimiliki majalah adalah kualitas reproduksinya. Majalah
umumnya dicetak menggunakan kertas berkualitas tinggi dan menggunakan proses
percetakan yang memungkinkan reproduksi yang sangat bagus, baik dalam hitam
putih ataupun berwarna.
3. Kreativitas Fleksibel
Majalah
menawarkan pemasang iklan fleksibilitas besar dalam tipe, ukuran dan penempatan
materi iklan. Beberapa majalah menawarkan beberpa pilihan yang dapat mendorong
daya tarik pembaca terhadap suatau iklan sehingga dapat meningkatkan perhatian
dan minat audiens. Misalnya dengan cara menyediakan halaman lipat, halaman
tanpa tepi, sisipan dan pembelian ruang kreatif.
4. Permanen
Daya
hidup pesannya lebih lama. Studi
menunjukan bahwa sekitar 75 persen pembaca menyimpan majalah yang
digunakan sebagai referensi di masa depan.
5. Prestise
Prestise
yang bisa diperoleh suatu merek produk karena iklannya muncul di suatu majalah
terntentu yang dikenal luas memiliki citra atau imej yang positif.
6. Penerimaan dan Lingkungan
Konsumen
Suatu
penelitian di AS membuktikan bahwa majalah merupakan media yang paling banyak
digunakan konsumen untuk mendapatkan pengetahuan, informasi dan ide. Penelitian
tersebut membuktikan bahwa majalah menjadi sumber informasi utama bagi konsumen
atas berbagai produk, seperti: produk otomotif, kecntikan, pakaian, perencanaan
keuangan dan perjalanan.
7. Pelayanan
Ada
riset konsumen yang mencakup kegiatan penelitian terhadap trend umum konsumen,
perubahan polan pembelian konsumen dan konsumsi atau penggunaan media oleh
konsumen.
Surat kabar dalam mengiklankan sebuah produk, memiliki
keunggulan yaitu:
1. Jangkauan Ekstensif
Cakupan
pasar yang luas khususnya di kawasan perkotaan dimana tingkat pendapatan dan
pendidikan masyarakatnya cukup tinggi. Menurut George dan Michael Belch (2001)
“penetrasi surat kabar yang ekstensif menjadikan surat kabar sebagai media
massa sejati yang memberikan peluang sangat bagus kepada pemasang iklan untuk
menjangkau seluruh segmen populasi dengan pesannya”.
2. Fleksibilitas
Surat
kabar bersifat fleksibel dalam hal persyaratan untuk memproduksi dan
menayangkan iklan, yaitu dapat ditulis dan dipersiapkan hanya dalam beberpa
jam. Serta tersedia pilihan kreatif kepada pemasang iklan yang dapat dibuat
dalam beberapa warna, bentuk dan ukuran.
3. Seleksi Geografis
Menawarkan
kepada pemasang iklan lebih banyak pilihan dalam hal geografis atau wilayah
yang menjadi target iklan dibandingkan dengan media lainnya.
4. Penerimaan Pembaca
Pembaca
surat kabar menyediakan waktu untuk membaca koran pada akhir pekan. Kebanyakan
pembaca mengandalkan surat kabar tidak saja untuk mendapatkan berita, informasi
dan hiburan tetapi juga bantuan dalam membuat keputusan konsumsi.
5. Pelayanan
Dengan
adanya riset surat kabar menyediakan data mengenai kondisi pasar berdasarkan
surat pembaca dan informasi dari para pengecer.
Sedangkan
media online meski memiliki banyak kelebihan dalam hal pemasangan iklan ada
beberapa kelemahan yaitu:
1. Karakteristik Audiens
Pertumbuhan
pengguna internet yang sangat cepat membuat karakteristik audiens berubah-ubah
dengan cepat pula.
2. Proses Lambat
Jika
situsweb dikunjungi oleh banyak browser maka untuk membuka web tersebut menjadi
sangat lama, sehingga menimbulkan kebosanan.
3. Penipuan
Di
banyak negara aturan dan penegakan hukum dalam bertransaksi di internet guna
melindungi konsumen belum tersedia.
4. Jangkauan Terbatas
Statistik
menunjukan hanya sebagian kecil website yang dapat dijangkau oleh mesin pencari
dan sebagian besar pengunjung internet hanya berkunjung pada 50 situs teratas.
Sumber :
1.
“Masa
Depan Pers Indonesia, Survey Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat, Jakarta,
Juni 2009
2.
“Tentang
BPS dan Masa Depan Pers Indonesia dalam Kacamata Statistik”, Subagio
Dwijosumono, Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS),
Jakarta, Agustus 2009
3.
“The
Future of Newspaper Bisnis in Indonesia”, Ika Jatmikasari, Associate Director
Nielsen Media Indonesia, Jakarta, Agustus 2009
4.
“Periklanan
dan Komunikasi Pemasaran Terpadu”, Morissan, Ramdina Prakarsa, Jakarta, Januari
2007.
Analisa Pengaruh Media Massa Terhadap Gaya Hidup
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman media
massa tumbuh dan berkembang dengan subur, bak jamur dimusim hujan. Era globalisasi memiliki pengaruh
yang kuat disegala dimensi kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan sosial baik secara positif maupun negatif. Perkembangan
teknologi membuat masyarakat terapit diantara dua pilihan. Disatu pihak
masyarakat menerima kehadiran teknologi, di pihak lain kehadiran teknologi
modern justru menimbulkan masalah-masalah yang bersifat struktural yang
kemudian merambah di semua aspek kehidupan masyarakat. Terkait dengan
perkembangan teknologi yang berdampak kearah modernisasi, IPTEK merupakan yang
paling pesat perkembangannya. Salah satu diantaranya yang cukup membuat
masyarakat terkagum-kagum ialah perkembangan teknologi informasi.
Menurut
Praktito (1979: 36) dewasa ini kemajuan teknologi informasi yang menuju kearah
globalisasi komunikasi dirasakan cenderung berpengaruh langsung terhadap
tingkat peradaban masyarakat dan bangsa. Kita semua menyadari bahwa
perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini bergerak sangat pesat dan
telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan
masyarakat di berbagai negara. Kemajuan bidang informasi membawa kita memasuki
abad revolusi komunikasi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Ledakan
Komunikasi” (Subrata, 1992).
Apabila
globalisasi diartikan sebagai perkembangan kebudayaan manusia, maka globalisasi
informasi dan komunikasi yang mucul karena perkembangan teknologi komunikasi,
diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan
meningkatkan kualitas informasi ini tidak mungkin lagi di dibatasi oleh ruang
dan waktu (Wahyudi, 1990).
Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. Maka tidak salah apa yang dikatakan Dennis McQuil bahwa “Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma”.
Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. Maka tidak salah apa yang dikatakan Dennis McQuil bahwa “Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma”.
Arus
informasi yang cepat menyebabkan kita tidak mampu untuk menyaring pesan yang
datang. Akibatnya tanpa sadar informasi tersebut sedikit demi sedikit telah
mempengaruhi pola tingkah laku dan budaya dalam masyarakat. Kebudayaan yang
sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat dalam berperilaku kini hampir
hilang dan lepas dari perhatian masyarakat. Akibatnya, semakin lama
perubahan-perubahan sosial di masyarakat mulai terangkat ke permukaan.
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Literatur
1. Teori
Kontemporer Mengenai Pengaruh Media Massa
Pengaruh
media terhadap masyarakat telah menumbuhkan pembaharuan-pembaharuan yang cepat
dalam masyarakat. Pembaharuan yang berwujud perubahan ada yang ke arah negatif
dan ada yang ke arah positif. Sehubungan dengan hal tersebut, ada
beberapa teori kontemporer yang berkaitan dengan pengaruh komunikasi massa yang
digolongkan dalam empat bagian, yaitu:
o
Teori
Perbedaan Individu
Menurut
teori ini terdapat kecendrungan baru dalam pembentukan watak sesorang melalui
proses belajar. Adanya perbedaan pola pikir dan motivasi didasarkan pada
pengalaman belajar. Perbedaan individu disebabkan karena perbedaan lingkungan
yang menghasilakan perbedaan pandangan dalam menghadapi sesuatu. Lingkungan
akan mempengaruhi sikap, nilai-nilai serta kepercayaan yang mendasari
kepribadian mereka dalam menaggapi informasi yang datang. Dengan demikian
pengaruh media terhadap individu akan berbeda-beda satu sama lain.
o
Teori
Penggolongan Sosial
Penggolongan
sosial lebih didasarkan pada tingkat penghasilan, seks, pendidikan, tempat
tinggal maupun agama. Dalam teori ini dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki
sifat-sifat tertentu yang cenderung sama akan membentuk sikap-sikap yang sama
dalam menghadapi stimuli tertentu. Persamaan ini berpengaruh terhadap tanggapan
mereka dalam menerima pesan yang disampaikan media massa.
o
Teori
Hubungan Sosial
Menurut
teori ini kebanyakan masyarakat menerima pesan yang disampaikan media banyak di
peroleh melalui hubungan atau kontak dengan orang lain dari pada menerima
langsung dari media massa. Dalam hal ini hubungan antar pribadi mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap penyampaian informasi oleh media.
o
Teori
Norma-Norma Budaya
Teori
ini menganggap bahwa pesan/informasi yang disampaikan oleh media massa dengan
cara-cara tertentu dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda oleh masyarakat
sesuai dengan budayanya. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa media
mempengaruhi sikap individu tersebut. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh
media massa dalam mempengaruhi norma-norma budaya. Pertama, informasi yang
disampaikan dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku serta meyakinkan
masyarakat bahwa budaya tersebut masih berlaku dan harus di patuhi. Kedua, media
massa dapat menciptakan budaya-budaya baru yang dapat melengkapi atau
menyempurnakan budaya lama yang tidak bertentangan. Ketiga, media massa dapat
merubah norma-norma budaya yang telah ada dan berlaku sejak lama serta mengubah
perilaku masyarakat itu sendiri.
2. Teori
Media Ekuasi
Teori Media Ekuasi (The Media
Equation Theory) dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass melalui
tulisan mereka yang berjudul The Media Equation : How People Treat
Computers, Television, and New Media Like Real People and Places. Keduanya
merupakan profesor di jurusan Komunikasi Universitas Stanford Amerika. Berdasarkan
teori persamaan media ini (teori ekuasi) Reeves dan Nass menggambarkan
persoalan bagaimana orang-orang secara tidak sadar bahkan secara otomatis
merespon apa yang dikomunikasikan media, seolah media itu manusia.
Teori persamaan media dari Reeves
dan Nass ini mencoba memperlihatkan bahwa media juga bisa diajak berbicara.
Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal
yang melibatkan dua orang dalam situasi face to face. Dalam teori
persamaan ini, media dianggap sebagai bagian dari kehidupan nyata (media and
the real life are the same).
Berdasarkan research program yang
akan dipaparkan di bawah ini, Reeves dan Nass yakin bahwa orang memperlakukan
media komunikasi seperti memperlakukan manusia.
a.
The
Media Equation:
Media = Real Life
Dalam bukunya, The Media Equation,
Reeves dan Nass menggagas bahwa kita menanggapi (response) media komunikasi
seolah-olah media itu hidup. Implikasi praktis dari media equation ini adalah
ketika kita menyalakan TV atau komputer kita, kita mengikuti aturan dari
interpersonal interaction yang kita lalui selama hidup kita. Ini adalah
human-media relations. Reeves dan Nass mengatakan bahwa media equation ini
sifatnya sangat basic atau mendasar, jadi, “it applies to everyone, it
applies often, and it is highly consequential”.
b.
Beyond
Intuition that Protests: “Not Me, I Know A Picture Is Not A Person”
Ketika kita menonton TV atau
browsing internet, tidak seorangpun dari kita yang akan mengakui bahwa kita
sebenarnya tengah merespons gambar-gambar di layar seolah-olah gambar-gambar
itu nyata. Kita tahu bahwa yang ada di layar adalah gambar-gambar imajiner atau
hanya representasi dari benda aslinya. Reeves dan Nass menyatakan sebaliknya.
Keduanya menyatakan bahwa sebenarnya orang merespons media secara sosial (socially)
dan alami (naturally), meskipun mereka mereka tahu itu adalah hal yang
tidak masuk akal untuk dilakukan , dan meskipun mereka tidak berpikir bahwa respons
itu mencirikan diri mereka sendiri. Suatu kondisi di mana perilaku kita tidak
dipengaruhi atau disesuaikan dengan situasi yang kita alami. Di satu sisi kita
bilang “not me” yang merepresentasikan bahwa kita adalah makhluk independen dan
kita sadar bahwa yang kita lihat adalah buatan. Di sisi lain, kita menanggapi
gambar-gambar itu seperti kita tengah melakukan interaksi interpersonal dengan
seseorang.
c.
Otak
Lama Dibodohi Teknologi Baru
Untuk menjelaskan alasan mengapa
manusia menanggapi media secara sosial dan alami, Reeves dan Nass menggunakan
teori langkah evolusi yang lambat. Menurut mereka, otak manusia terlibat hanya
dalam aktivitas dan perilaku sosial, dan melihat semua objek yang dirasakan
adalah benda nyata. Apapun yang kelihatan nyata, menjadi benar-benar nyata.
Jadi sebenarnya kita belum beradaptasi dengan keberadaan media baru sehingga
apapun yang kelihatan nyata, dipersonifikasikan oleh kita.
Orang tentu saja bisa berpikir bahwa
diri mereka tidak primitif dan tidak dapat begitu saja dikontrol media.
Misalnya ketika kita menonton film horror, kita terus berusaha menghilangkan
rasa takut atau rasa sedih kita dengan berkata pada diri sendiri, “ini tidak
nyata. Ini tidak nyata. Ini bohong”. Namun sayangnya, jarang sekali kita
melakukan itu. Kalaupun kita berusaha melakukannya, kita tidak mampu
melakukannya secara konsisten atau terus-menerus ketika gambar-gambar dan
suara-suara itu ada tepat di hadapan kita.
Dalam teori persamaan media ini,
media seperti televisi dan komputer diberlakukan layaknya aktor sosial. Aturan
yang biasanya berlaku dan mempengaruhi perilaku setiap hari individu-individu
dalam berinteraksi dengan orang lain relatif sama ketika orang-orang
berinteraksi dengan komputer ataupun televisi. Begitu pula dengan
persoalan-persoalan sosial. Ketika orang berinteraksi dengan orang lain karena
kesamaan visi misi, keyakinan, status sosial, kebutuhan, atau kepercayaan.
Interaksi antara orang dengan media juga berlaku seperti itu. Saat kita
menonton televisi, kita cenderung memilih tayangan yang memenuhi kebutuhan
kita. Saat kita mengkases internet melalui komputer pun, kita cenderung lebih
mementingkan kebutuhan dan kepercayaan kita.
Selain hal-hal yang berdekatan
dengan kehidupan sosial, secara mengejutkan dalam hasil penelitiannya, sebagaimana
dikutip Griffin, Reeves dan Nass menyatakan bahwa, “Media are full
partiscipants in our social and natural world.” (Griffin, 2003:405). Bagi
Reeves dan Nass, media lebih dari sekedar “tool”. Jika McLuhan
mengatakan bahwa media adalah suatu alat, dan kemudian alat itulah yang
membentuk kita, namun Reeves dan Nass menyatakan bahwa media lebih dari itu.
Bagi mereka yang dinamakan sebagai “tool” sebagai “hardware” yang bisa
dibeli di toko. Sedangkan media, selama ini tidak bisa disamakan dengan
perangkat keras yang mati. Karena media juga memberikan kontribusi dan pengaruh
yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Mereka juga memberikan penekanan bahwa
yang diberikan melalui televisi, komputer, dan bentuk-bentuk media lainnya
adalah sebuah realitas virtual. Oleh karenanya, media bukan hanya sekedar “tool”.
B.
Perubahan
Gaya Hidup Akibat Media Massa
Keberadaaan
media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak
membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang
disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif.
Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat
terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang
seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Media
memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang
manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah
lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut dan
gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca
dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung
masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri
mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau
merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Secara
sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan
menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk
anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi
oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa
maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila taayangan atau
informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh
anak-anak (Amini, 1993).
Dampak
yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya terjadinya
perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial atau nilai-nilai budaya.
Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal
yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain
itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati
dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis.
Dampak
lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme.
Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik
(media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi
prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti
ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian
hari.
Rubrik
dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur
kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar
dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola
tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar
dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam
menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari
luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
C.
Analisis
Pengaruh Media Massa Terhadap Gaya Hidup
Ada tiga hal yang dapat menjelaskan
pengaruh media terhadap perilaku masyarakat. Pertama, Pesan-pesan komunikasi
massa dapat memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku. Kedua, media dapat
menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya
yang ada. Ketiga, media massa dapat merubah norma-norma budaya yang berlaku
dimana perilaku individu-individu dalam masyarakat dirubah sama sekali (De
Fleur, 1991:8). Media massa, lanjut Hartman dan Husband (1974) biasa menyajikan
sejumlah pandangan, tentang mana yang normal, mana yang disetujui atau yang
tidak disetujui. Pandangan ini kemudian diserap oleh individu-individu ke dalam
cara pandang khalayak.
Ø Efek
Media dan Gaya Hidup
Efek media, sebagian besar merupakan
efek yang dikehendaki komunikator: efek-efek bersifat jangka pendek (segera dan
temporer); efek-efek itu ada kaitannya dengan perubahan-perubahan sikap,
pengetahuan maupun tingkah laku dalam individu; efek-efek itu secara relatif
tidak diperantarai. Secara keseluruhan, efek-efek tersebut ada hubungannya
dengan pemikiran tentang suatu “propaganda” (usaha-usaha sadar atau terencana
dalam menggunakan media massa untuk tujuan-tujuan motivasional atau
informasional).
Suatu gaya hidup yang meluber lewat komunikasi massa ini melahirkan pola kehidupan yang demokratis, artinya, suatu gaya hidup tidak lagi menjadi privilege suatu kelompok dalam stratifikasi sosial. Dalam konteks kebudayaan massa, atau biasa juga disebut kebudayaan populer, masyarakat menjadi homogen. Siapa saja dapat mengambil alihnya, dari strata manapun ia berasal, pada saat ia bermaksud mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut.
Suatu gaya hidup yang meluber lewat komunikasi massa ini melahirkan pola kehidupan yang demokratis, artinya, suatu gaya hidup tidak lagi menjadi privilege suatu kelompok dalam stratifikasi sosial. Dalam konteks kebudayaan massa, atau biasa juga disebut kebudayaan populer, masyarakat menjadi homogen. Siapa saja dapat mengambil alihnya, dari strata manapun ia berasal, pada saat ia bermaksud mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut.
Sentuhan budaya tidak langsung tetapi
sangat kuat pengaruhnya, adalah penyebaran informasi dan jaringan komunikasi
yang semakin luas jangkauannya. Dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern, pengaruh media massa kini tidak terbatas di arena-arena sosial yang
terbuka dan bersifat umum,. Melalui siaran radio dan televisi, televisi global,
antena parabola, dan internet pengaruh kebudayaan asing bisa menyusup ke kamar
tidur, menembus dinding-dinding tembok rumah. Tidaklah mengherankan kalau
siaran televisi dan radio maupun media cetak, serta internet yang tidak
mengenal batas-batas lingkungan sosial politik, kebudayaan maupun geografis itu
mengundang reaksi kuat di kalangan masyarakat umum. Meningkatnya intensitas
arus informasi komunikasi itu menimbulkan pertanyaan sampai berapa jauh
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial kebudayaan masyarakat.
Ø Genre
Kaum Muda
Kampus tempat berkumpulnya kaum muda
dari berbagai kalangan adalah sebuah miniatur bagi society yang terus
berkembang. Perkembangan yang ada di dalamnya layak dicermati guna mendapatkan
potret yang lebih jelas tentang pengaruh media pada gaya hidup. Kita tidak
pernah mengalami kesulitan manakala hendak melihat mahasiswa/i yang memberi
“warna rambutnya”. ”rambut gimbal”, ”rambut acak-acakan tidak disisir rapi.”
Tidak jarang kita menjumpai mereka dengan celana “jeans yang robek-robek”
dipangkal paha. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang datang kuliah dengan
pakaian ala “ibu-ibu atau tante-tante“, dan “berdandan ala pesta”. Hal lain
adalah penggunaan bahasa, kosa kata banci ”bergaya lemas dan manja” merebak
dalam percakapan harian mereka, itulah gaya kaula muda.
Sosiolog humanis, Peter L. Berger dalam Ibrahim (1997:226) menyebut gejala demikian sebagai munculnya “urbanisasi kesadaran”. Fenomena kesadaran yang telah terurbanisasikan tersebut disebabkan kemajuan pesat teknologi komunikasi / informasi yang pada gilirannya telah menciptakan wajah baru industrilisasi dan terus merembes ke alam bawah sadar masyarakat sebagai industri kesadaran yang menurut Dennis McQuaill telah mengendalikan publik massa baru. Orang desa bisa terkotakan gaya hidupnya meskipun mereka tidak pernah ke kota. Orang bisa menjadi Barat atau terbaratkan sekalipun mereka belum pernah ke Barat.
Sebuah kelas yang mewariskan suatu genre generasi muda yang memandang bahwa keremajaan atau ke(pe)mudaan merupakan sesuatu yang menarik. Namun mereka menarik bukan karena potensialitas keremajaannya, tapi lebih karena pasar. Mengingat jumlah mereka yang tidak kecil maka semua pemasaran produk budaya massa mulai dari pakaian, makanan, asesoris, bahkan bahasa, dan perangkat artifisial ditujukan pada mahasiswa (kaum yang mewakili pemuda).
Sosiolog humanis, Peter L. Berger dalam Ibrahim (1997:226) menyebut gejala demikian sebagai munculnya “urbanisasi kesadaran”. Fenomena kesadaran yang telah terurbanisasikan tersebut disebabkan kemajuan pesat teknologi komunikasi / informasi yang pada gilirannya telah menciptakan wajah baru industrilisasi dan terus merembes ke alam bawah sadar masyarakat sebagai industri kesadaran yang menurut Dennis McQuaill telah mengendalikan publik massa baru. Orang desa bisa terkotakan gaya hidupnya meskipun mereka tidak pernah ke kota. Orang bisa menjadi Barat atau terbaratkan sekalipun mereka belum pernah ke Barat.
Sebuah kelas yang mewariskan suatu genre generasi muda yang memandang bahwa keremajaan atau ke(pe)mudaan merupakan sesuatu yang menarik. Namun mereka menarik bukan karena potensialitas keremajaannya, tapi lebih karena pasar. Mengingat jumlah mereka yang tidak kecil maka semua pemasaran produk budaya massa mulai dari pakaian, makanan, asesoris, bahkan bahasa, dan perangkat artifisial ditujukan pada mahasiswa (kaum yang mewakili pemuda).
Menurut Ibrahim (1997:227) fenomena
kawula muda memang lebih menarik untuk ditonton dan dipertontonkan, seperti
kisah-kasih atau percintaan dan sukses mereka yang sering menjadi latar dan
setting cerita dalam berbagai lakon sinetron. Latar kehidupan yang dibayangkan
sering tanpa kedalaman. Sukses dan prestasi dianggap sebagai sesuatu yang instant
seketika. Tak pernah mereka mempermasalahkan kesulitan ekonomi. Keluar masuk
rumah dan mobil mewah adalah ciri mereka. Kalau pria, mereka dicitrakan “Inilah
pria idaman”: tampan gesit; Kalau wanitanya, dilukiskan “wanita yang lembut”;
cantik manja.
Kita bangga kalau melihat kawula muda masa kini yang selalu ceria dan tertawa riang. Baru saja mereka saling memikat di pusat perbelanjaan, lalu mereka kencan di pantai, tiba-tiba mereka sudah berdasi di kantor dengan setumpuk map. Sambil tertawa-tawa mendapat tender besar mereka pecahkan semua problem. Seakan-akan dunia ini tanpa masalah. Demikian gambaran suatu cerita sinetron yang menghiasi layar-layar kaca kita.
Gaya hidup enak dan kemudahan-kemudahan selalu terlukis kalau melihat “genre” budaya anak muda ini. Sebagai kawula muda yang kebetulan tengah “menganggur” dan kebetulan juga punya banyak waktu dan duit, mereka punya banyak teman. Dunia hiburan seperti dugem, diskotik, karaoke, identik dengan gaya hidup kawula muda.
Kita bangga kalau melihat kawula muda masa kini yang selalu ceria dan tertawa riang. Baru saja mereka saling memikat di pusat perbelanjaan, lalu mereka kencan di pantai, tiba-tiba mereka sudah berdasi di kantor dengan setumpuk map. Sambil tertawa-tawa mendapat tender besar mereka pecahkan semua problem. Seakan-akan dunia ini tanpa masalah. Demikian gambaran suatu cerita sinetron yang menghiasi layar-layar kaca kita.
Gaya hidup enak dan kemudahan-kemudahan selalu terlukis kalau melihat “genre” budaya anak muda ini. Sebagai kawula muda yang kebetulan tengah “menganggur” dan kebetulan juga punya banyak waktu dan duit, mereka punya banyak teman. Dunia hiburan seperti dugem, diskotik, karaoke, identik dengan gaya hidup kawula muda.
Ø Kosmopolitanisme
Gaya Hidup
Kosmopolitanisme dan globalisasi gaya
hidup yang sering dinisbatkan sebagai imprialisme budaya atau imprialisme
media, telah sering dicap sebagai ciri Amerikanisasi kelompok kelas menengah
ini. Gaya hidup seperti tampak pada sejumlah kawula muda sebagai suatu “genre”
pendukung budaya massa terus merembes bahkan sampai ke kampus-kampus
universitas/institut/akademi yang semula dianggap memiliki pertahanan budaya dan
intelektualitas yang prima.
Sebab, bagaimana mungkin mahasiswa
sekarang sampai merasa perlu menyelenggarakan acara-acara semisal “Gebyar
Kampus”, “Rally kampus”, Konser Rock”, “Pekan Promo” (mungkin ini pengaruh
Posmodernisme yang dipelesetkan menjadi Promo) atau pemilihan semacam
“putra/putri kampus”, yang dengan diam-diam menanamkan kesadaran bahwa kriteria
kecerdasan itu berhubungan erat dengan kecantikan/ketampanan. Padahal di balik
itu, semua orang tahu, kita tidak usah terlalu cerdas hanya untuk memahaminya
bahwa yang beroperasi adalah propaganda pasar kapitalis industrial yang
menjadikan tubuh sebagai pusat kesadaran.
Media, ungkap Malik dalam Sihabudin (1999: 3), telah menjadi semacam tirani kognitif yang terus memiskinkan elemen-elemen budaya tradisionil, terutama yang berlandaskan agama. Fenomena kolonialisme budaya lewat media massa semakin membuktikan kenyataan itu. Sebagai contoh, acara “realigi” , “termehek mehek,” dan beberapa acara sejenis itu, menarik untuk disimak. Program ini secara sistematis menayangkan kasus-kasus kehidupan keluarga, yaitu kasus istri dipukul suami, suami gemar serong, hidup melajang, perilaku seks menyimpang (gay dan lesbian), dan sebagainya.
Media, ungkap Malik dalam Sihabudin (1999: 3), telah menjadi semacam tirani kognitif yang terus memiskinkan elemen-elemen budaya tradisionil, terutama yang berlandaskan agama. Fenomena kolonialisme budaya lewat media massa semakin membuktikan kenyataan itu. Sebagai contoh, acara “realigi” , “termehek mehek,” dan beberapa acara sejenis itu, menarik untuk disimak. Program ini secara sistematis menayangkan kasus-kasus kehidupan keluarga, yaitu kasus istri dipukul suami, suami gemar serong, hidup melajang, perilaku seks menyimpang (gay dan lesbian), dan sebagainya.
Melihat majalah Popular, televisi, dan
radio yang mengumbar konsultasi seks, yang menganggap hubungan suami istri
sebagai instrumen alat-alat mekanis yang harus dipreteli dan dibuka sebebas-bebasnya
(Ibrahim, 1997:227).
Menurut Jones dalam Singarimbun
(1997:210) film, musik, radio, bacaan, dan TV mengajarkan kepada mereka bahwa
seks itu romantis, merangsang, dan menggairahkan. Demikian salah satu gaya
hidup yang ditawarkan media. Lull (1998:84) berpendapat, media massa komersial
amat mempercepat dan mendiversifikasikan pengaruh kekuasaan budaya.
Kekuasaan budaya, yang saya maksudkan di sini kemampuan untuk mendefinisikan suatu situasi secara budaya. Kekuasaan budaya adalah kemampuan individu dan kelompok untuk memproduksi makna dan membangun cara hidup yang menarik bagi indra, emosi, dan pemikiran mengenai diri sendiri dan orang lain.
Kekuasaan budaya, yang saya maksudkan di sini kemampuan untuk mendefinisikan suatu situasi secara budaya. Kekuasaan budaya adalah kemampuan individu dan kelompok untuk memproduksi makna dan membangun cara hidup yang menarik bagi indra, emosi, dan pemikiran mengenai diri sendiri dan orang lain.
Hal ini menyerupai apa yang Anthony
Giddens namakan “politik kehidupan suatu politik pemilihan gaya hidup keputusan
dalam hidup.” Kekuasaan budaya dijalankan ketika orang-orang menggunakan
tampilan-tampilan simbolik, termasuk asosiasi-asosiasi ideologis dan budaya
yang sistematik, struktur otoritas, dan peraturan yang mendasarinya, dalam
strategi aksi budaya. Memang benar bahwa citra-citra simbolik melalui media
mula-mula dikuatkan secara budaya dengan cara lembaga sponsor mengorganisir dan
menyajikan citra-citra itu. Tak heran kalau produksi makna dan nilai-nilai juga
dikuasai dan dikondisikan oleh agen-agen tersebut, yang legitimasi kekuasaannya
dimotori oleh sistem komunikasi massa. Lull (1998:84).
Dalam mendukung gaya hidup baru itu orang butuh figur. Karena itu, para bintang yang disebut Akbar S Ahmed dalam Ibrahim (1997:26) sebagai “filosof of pop budaya pascamodern” seperti Michael Jackson atau Madonna “disembah” di mana-mana. Madonna adalah contoh ketika komodifikasi tubuh menemukan ruang pemadatannya. Ia menjadi figur fantasi yang memutar balikan relasi tanda-tanda mengenai seksualitas, kekuasaan, dan ambiguitas gender.
Dalam mendukung gaya hidup baru itu orang butuh figur. Karena itu, para bintang yang disebut Akbar S Ahmed dalam Ibrahim (1997:26) sebagai “filosof of pop budaya pascamodern” seperti Michael Jackson atau Madonna “disembah” di mana-mana. Madonna adalah contoh ketika komodifikasi tubuh menemukan ruang pemadatannya. Ia menjadi figur fantasi yang memutar balikan relasi tanda-tanda mengenai seksualitas, kekuasaan, dan ambiguitas gender.
Jika dikaitkan dengan pokok tulisan ini,
tidak menutup kemungkinan ekspose yang dilakukan media mengenai gaya hidup para
idola, dan kaum selebritas. Ketika melihat fenomena “berkuasa”nya “icon pop”
seperti Madonna, yang daya tarik “tubuh”-nya telah menggairahkan orang yang
melihatnya. Langsung tidak langsung dapat menempatkan perilaku yang dianggap
menyimpang bisa dapat dipermisifkan oleh gencarnya ekspose media massa.
Gerakan dan perkembangan zaman cukup menambah kadar keberanian para kaum muda memperlihatkan eksistensi mereka dalam bentuk icon kultur pop. Pendobrakan itu muncul ke permukaan dalam bentuk komunikasi pergaulan menengah atas, seni desain dan pertunjukkan. Perhatikan saja kosa kata banci yang merebak di kalangan anak muda Jakarta atau Bali, dan gaya “lemas” para performer di panggung-panggung kafe atau restoran.
Akhirnya, media, seperti dikatakan Jatman (1997: 127) telah menciptakan estetikanya sendiri. Ia tidak hanya dianggap sebagai agen kebudayaan, tetapi ia adalah kebudayaan itu sendiri. Artinya ketika kebiasaan kaum elit yang dalam hal ini adalah para publik figur masuk dalam media ia menjelma sebagai pop culture. Hal ini diperkuat oleh Ade Armando bahwa media turut menset agenda kehidupan konsumen termasuk mempengaruhi apa yang dianggap penting dan tidak penting, apa yang halal, dan haram, apa yang bisa dinikmati dan tidak, melalui proses pembiasan. Sehingga, gaya hidup secara luas dapat kita katakan terbentuk dari pesan media massa yang masuk secara bertubi-tubi dalam kehidupan masyarakat.
Gerakan dan perkembangan zaman cukup menambah kadar keberanian para kaum muda memperlihatkan eksistensi mereka dalam bentuk icon kultur pop. Pendobrakan itu muncul ke permukaan dalam bentuk komunikasi pergaulan menengah atas, seni desain dan pertunjukkan. Perhatikan saja kosa kata banci yang merebak di kalangan anak muda Jakarta atau Bali, dan gaya “lemas” para performer di panggung-panggung kafe atau restoran.
Akhirnya, media, seperti dikatakan Jatman (1997: 127) telah menciptakan estetikanya sendiri. Ia tidak hanya dianggap sebagai agen kebudayaan, tetapi ia adalah kebudayaan itu sendiri. Artinya ketika kebiasaan kaum elit yang dalam hal ini adalah para publik figur masuk dalam media ia menjelma sebagai pop culture. Hal ini diperkuat oleh Ade Armando bahwa media turut menset agenda kehidupan konsumen termasuk mempengaruhi apa yang dianggap penting dan tidak penting, apa yang halal, dan haram, apa yang bisa dinikmati dan tidak, melalui proses pembiasan. Sehingga, gaya hidup secara luas dapat kita katakan terbentuk dari pesan media massa yang masuk secara bertubi-tubi dalam kehidupan masyarakat.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Media
massa pada umunya merupakan sektor pranata modern, yang sampai batas tertentu
adalah asing untuk negara dan kebudayaan negara ketiga. Untuk memasukkannya
diperlukan baik oleh alih teknologi maupun kemampuan adaptasinya terhadap
kebutuhan dunia ketiga (Tharpe, 1992). Secara umum media massa merupakan sarana
penyampaian informasi dari sumber informasi (komunikator) kepada penerima
informasi (komunikan).
Informasi-informasi
yang diterima dari media tersebut mempengaruhi kehidupan sosial budaya suatu
masyarakat baik dalam persepsi sikap serta perilaku hidupnya. Dari
pejelasan-penjelasan diatas, secara tersirat kehadiran media massa telah
memunculkan suatu budaya baru yang menginginkan masyarakat dapat menyesuaikan
diri terhadap budaya tersebut. Budaya ini dikenal dengan sebagai budaya populer
atau budaya pop (Sugihin, 1991). Penyesuaian sikap masyarakat terhadap budaya
populer ini menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam seluruh dimensi
kehidupan masyarakat dan menuntut masyarakat untuk beralih dari masyarkat
tradisional menuju ke masyarakat dengan pola hidup modern.
Keberadaaan
media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak
membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang
disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif.
Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat
terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya
berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Dampak
yang paling kontras dirasakan dikalangan masyarakat ialah perubahan gaya
hidup dan pola tingkah laku yang menuntut masyarakat bersikap serba
instant sehingga menyebabkan terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dalam
kehidupan masyarakat. Media massa mempengaruhi gaya hidup masyarakat untuk
menjadi serupa dengan apa yang disajikan oleh media. Sadar atau tidak
masyarakat pun masuk kedalamnya bahkan menuntut lebih dari itu. Kehadiran media
massa dirasakan lebih berpengaruh terhadap generasi muda yang sedang berada dalam
tahap pencarian jati diri.
Media
memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang
manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah
lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut
dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca
dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung
masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri
mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau
merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Secara
sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan
menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk
anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi
oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa
maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila taayangan atau
informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh
anak-anak (Amini, 1993).
Dampak
yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya terjadinya
perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial atau nilai-nilai budaya.
Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal
yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain
itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati
dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis.
Dampak
lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme.
Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik
(media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi
prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti
ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian
hari.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
B.
Saran
Lembaga-lembaga pemerintah yang bertugas memantau setiap
penayangan media massa, harus bekerja ektras keras untuk membatasi hal-hal dari
rubric-rubrik media massa yang dapat berdampak buruk bagi budaya bangsa. Orang
tua perlu membimbing anak-anaknya dalam menonton setiap program acara atau
informasi yang disajikan media massa, terutama untuk anak-anak yang masih
dibawah umur perlu didampingi oleh orang tuanya.
Pihak dari media massa harus lebih memperhatikan rubrik yang akan disajikan dan sebaiknya menyajikan rubrik yang mendidik sehingga dapat memberi pengaruh yang positif bagi masyarakat.
Pihak dari media massa harus lebih memperhatikan rubrik yang akan disajikan dan sebaiknya menyajikan rubrik yang mendidik sehingga dapat memberi pengaruh yang positif bagi masyarakat.
Pemerintah dan media massa seharusnya menguatkan budaya
bangsa pada diri generasi muda sebagai generasi bangsa. Terutama media massa,
karena para pemegang instansi media massa mampu menciptakan program-program
menarik mengeani budaya bangsa, sehingga dapat dianggap tren oleh masyarakat bangsanya
sendiri.
Sumber:
§ Purwasito, Andrik. 1993. Pengaruh TV
dan Cara Menyikapinya. Kedaulatan Rakyat: Sabtu, 6 November.
§ Debora, Christin. 2009. Pengaruh
Media Massa Dalam Perubahan Sosial. 26 Mei.
§ Doktor
dalam Kajian Komunikasi Pembangunan dan Dekan FISIP Untirta. 2011. Media dan
trend gaya hidup, 14 Januari.
Langganan:
Postingan (Atom)