Jumat, 05 Oktober 2012

Sosok Perempuan Inspirasiku

Membuat ukiran-ukiran nan menawan dan memesona dalam hidup, hingga hidup terasa hidup tak semudah yang terpikirkan dalam khayalanku. Terkadang aku harus menantang diriku sendiri tuk mampu bertahan hidup. Hingga perasaanku pun berubah-ubah tentang hidup, dimulai dari sebuah rasa benci, senang, sedih, hingga sering merasa kebingungan menghadapi semua itu, bahkan tak sekali pula diri ini harus menanggalkan perasaan demi hidup.
Pilihan pertama tuk mengadu tentu jatuh pada Tuhanku, Allah SWT sebagai pelindungku. Namun, tak dipungkiri terkadang aku masih merasa butuh sosok inspirasi tuk kujadikan contoh, dalam peranku sebagai perempuan. Pilihan itu pun jatuh pada tiga tokoh perempuan, yaitu Aisyah RA, RA. Kartini dan Dae Jang Geum. Dan saat ini aku ingin berbagi sedikit kisah tentang mereka, dalam lebur ceritaku...

Aisyah radhiyallahu anha
Aisyah binti Abu Bakar, putri seorang khalifah pertama dan merupakan istri ketiga Nabi Muhammad SAW. Jika Khadijah memesona karena kematangan jiwa-nya, maka Aisyah memberikan gabungan pesona kecantikan, kecerdasan dan kematangan dini kepada setiap insan yang melihatnya. Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah .”
Pesona sejati itu lahir dari sebuah kepribadian yang matang, kuat tapi meneduhkan. Di sinilah seseorang dapat mengatakan, “rumahku surgaku”. Ketika sedang berada di dalamnya, ia menjadi sumber energi untuk berkarya di luar. Ketika berada di luarnya, selalu ada kerinduan untuk kembali.
Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah, sehingga ia banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana perkataannya ini: “Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau” (HR. Bukhari)
Ia bak penunjuk arah di langit sejarah, karena banyaknya jumlah hadits yang beliau hafal dari Rasulullah dan kepahamannya tentang fiqih. Hingga menjadi rujukan utama bagi sahabat Rasul yang lain, setelah Rasulullah wafat. Bahkan Aisyah pernah memimpin 30 ribu pasukan dari Makkah dalam perang Unta (Ashhab alJamal)...Subhanallah...

Raden Adjeng Kartini
Putri pertama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara dan M.A. Ngasirah ini, memiliki pemikiran-pemikiran yang menakjubkan. Melalui surat-suratnya, ia ungkapkan keluhan dan gugatan, khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Kemudian persoalan agama tak luput dari kritikannya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai, jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Dan masih banyak lagi pemikiran RA. Kartini guna kemajuan perempuan Indonesia kala itu, bersyukur karena Indonesia memiliki seseorang sepertinya, termasuk aku. Mungkin bagi yang lain dia adalah seseorang, tapi bagiku perempuan Indonesia, dia adalah dunia.
Sumber: www.wikipedia.com

Dae Jang Geum
Mungkin sosok yang satu ini kurang dikenal di Indonesia, karena ia berasal dari Korea. Tokoh nyata dalam catatan sejarah Dinasti Joseon dan dokumen medis dari masa itu, ia menjadi dokter kerajaan perempuan pertama di Korea. Berawal dari sebuah perjuangannya untuk menjadi Dayang Istana atas keinginan ibunya, agar Jang-geum menjadi Juru Masak Kepala di dapur kerajaan dan mencatat kasus Ibunya, dalam catatan sejarah rahasia kaum perempuan di dapur (dengan maksud mengembalikan kehormatan ibunya sebagai dayang istana sebelum diusir dan kemudian menikah).
Perjalanan hidupnya sebagai seorang Dayang Istana hingga menjadi Dokter Kerajaan, yang membuat ku kagum. Karena kepandaiannya ia dijauhi banyak orang yang iri padanya, bahkan tak segan-segan percobaan pembunuhan juga menghampiri dirinya. Tapi semangat dan kegigihannya begitu kuat dan nampak, terlihat dari lika-liku hidupnya. Beberapa kali di fitnah, dicoba tuk dibunuh, terkena hukuman cambuk bahkan diasingkan dipulau terpencil.
Hukuman pengasingan di pulau terpencil dijadikan batu sandungan tuk kembali maju. Ia belajar pengobatan bahkan menemukan ramuan-ramuan baru untuk ilmu kedokteran. Hal itu pula yang mengantarkannya kembali ke istana namun sebagai seorang Perawat Istana. Gabungan dari kepandaian, semangat dan kegigihan seorang perempuan, ia mampu menggapai bintang yang banyak diinginkan orang. Sebuah sejarah baru ia ukir, yaitu menjadi Dokter Perempuan pertama dalam Kerajaan pada masanya.
Mungkin dari ketiga tokoh diatas yang mampu terlukis dalam pikiranku adalah sosok Dae Jang Geum ini. Karena kisahnya yang diadopsi dalam sebuah film berjudul ‘Jewel in The Palace’. Semangat dan kegigihannya dibuat secara nyata hingga mampu tergambar jelas dalam pikiranku. Tak pelak aku sering menempatkan diriku pada dirinya, dalam hati aku bertanya ‘apa yang akan ia (Jang Geum) lakukan jika ia berada dalam keadaan ku saat ini?’.
Begitulah kisah mereka, perempuan-perempuan hebat yang mampu mengukir hidup mereka secara sempurna penuh gejolak jiwa...Menjadikan lembah-lembah curam tertunduk malu menyaksikan kisah hidup mereka. (◦'ں'◦) Mampukah aku mengukir hidupku dengan indah namun menggugah gairah jiwa???

Angkringan, Sekadar Canda Hingga Diskusi Soal Negara

Berpikir tentang Indonesia, tentu identik dengan keberagaman sumber daya alam dan manusianya. Mengarahkan pula pemikiran pada falsafah gotong royong dan toleransi di negeri ini. Bicara Indonesia, falsafah, dan keaneka ragaman ini, teringat pada suatu konsep kebersahajaan di sudut kota Jogja. Angkringan, secara harfiah berasal dari bahasa Jawa yaitu angkring, yang berarti duduk santai. Sebuah gerobak dorong dengan tungku kayu, menjual berbagai macam makanan dan minuman. Biasanya terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dan lebih dikenal dengan warung Hidangan Istimewa ala Kampung di kota Solo.

Gerobag angkringan inipun biasanya membawa tiga buah ceret besar sebagai lokomotif utama, untuk menghidangkan minuman. Beroperasi mulai sore hari, mengandalkan penerangan tradisional yaitu lampu teplok yang memberi warna remang-remang eksotis. Juga diiringi oleh terangnya lampu jalanan. Kursi kayu panjang mengelilingi sekitar gerobak, beratapkan kain terpal plastik yang dapat digulung menambah keunikan dari angkringan.

Yang menarik dari warung berlokasi dekat kawasan Malioboro ini, adalah konsep sahaja penuh kesederhanaan. Tempat berkumpul banyak orang dengan berbagai latar belakang usia, pekerjaan, dan budaya tanpa mengenal batas. Dari rombongan kawula muda gaul bermobil mewah hingga para pemuda kumal bersepeda ontel, laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda, tumpah ruah dengan kehangatan senyum dan canda tawa dalam perbincangan mereka di warung ini. Menikmati makanan sembari berbincang hingga larut malam meski tak saling kenal, dipadu padankan dengan indahnya malam diterangi lampu berwarna kuning. Atau sekadar berkumpul dengan teman, hingga datang hanya untuk melepas lelah atau menghilangkan jenuh setelah seharian beraktifitas.

Angkringan kini tak hanya sekedar tempat makan, melainkan tempat ngangkring, berbagi, refreshing, dan bahkan menjadi sumber inspirasi. Hal lain yang cukup mengesankan dari para pengunjung angkringan ini adalah sebagai tempat diskusi dan berkumpulnya orang-orang dengan berbagai kepentingan. Ide-ide segar, rencana aksi demonstrasi yang dirancang oleh aktivis kampus. Tempat munculnya ide skripsi dan penelitian, diskusi politik, maupun sekadar ngobrol ngalor-ngidul atau gojeg kere, sebutan khas Jogja untuk bercanda. Angkringan Tugu misalnya menjadi salah satu pilihan jitu berkumpulnya kalangan aktivis pergerakan mahasiswa, maupun kaum akademisi yang menuntut ilmu. Selain untuk berdiskusi dan mencetuskan gagasan, banyak dari mereka yang datang untuk menyegarkan pikiran.

Fenomena sosial inipun mengingatkan kita pada kata-kata filsuf Aristoteles -- disempurnakan oleh Thomas Aquinas-- “aku memahami diri begini dan begitu dalam sebuah konfrontasi.” Berkaitan dengan beragama motivasi tersebut, Parsudi Suparlan dalam konsepsinya mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam kaitannya dengan sistem ide --yang dimiliki oleh masyarakat yang tersangkutan-- mencakup hal-hal seperti nilai, selera, cipta dan rasa. Nyatanya angkringan juga bukan hanya menggambarkan konsep toleransi atau tepo seliro, tetapi juga biso rumongso atau bisa mengerti perasaan orang lain dan berbagi.

Dalam sektor ekonomi, pengelola angkringan menggunakan sistem ekonomi gotong royong berbasis kearifan lokal. Juragan angkringan memiliki modal cukup besar namun tak memonopoli seluruh kebutuhan dagangan anak buahnya, bahkan gerobak juga dimiliki oleh si pedagang. Juragan biasanya menyediakan barang-barang untuk minuman dan rokok. Sedangkan berbagai penganan lain disediakan oleh pemasok yang biasanya merupakan tetangganya di kampung. Dan sedikitnya, setiap angkringan disuplai oleh lima belas pemasok. Para pedagang kecil pemasok penganan juga menerapkan konsep berbagi. Seorang pembuat nasi bungkus dengan lauk teri, tidak akan membuat jenis makanan dengan lauk tempe yang telah dibuat oleh orang lain. Masing-masing punya batas, dan teritorial. Sistem ekonomi rakyat yang belum terumuskan sebagai teori ekonomi seperti ini, jelas berbeda dengan berbisnis di sebuah mal yang ketat dan keras aturan mainnya.

Dan kini jumlah total angkringan di Jogja diperkirakan lebih dari 1.000 buah, dengan 1.200-an pedagang, serta lebih dari 30.000 warga kampung penyuplai makanan. Menyegani konsep sahaja dan toleransi dengan kesederhanaannya, pada warung yang dikenal pula dengan Café Ceret Telu ini, tidak terlepas dari sejarah yang membawanya. Dimulai pada era 1950-an, Mbah Pawiro seorang pedagang makanan yang berasal dari pelosok Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Hijrah ke Yogyakarta guna mengadu nasib karena tak ada lagi lahan subur di daerahnya. Beliau menjajakan dagangan dengan pikulan dan berpindah-pindah di sekitar Stasiun Tugu. Teriakan khas “hiiik..iyeek..” Mbah Pawiro inilah yang melahirkan isitilah HIK di Solo.

Hingga pada 1969, diwariskan kepada putranya yakni Lik Man, yang terkenal dengan menu andalan “Kopi Joss”. Yaitu kopi hitam pekat dicelup dengan arang yang membara atau mowo hingga terdengarnya bunyi “joss” pada saat bara arang dicemplungkan ke dalam gelas kopi. Kabarnya, kadar kafein yang terkandung di kopi joss tergolong rendah karena telah dinetralisir oleh arang yang dicelupkan ke dalam seduhannya. Meski adapula yang mengatakan kopi tersebut mengandung karsinogen.

Kekhasan kuliner juga bertambah dengan adanya sego kucing atau nasi kucing, dikatakan demikian karena porsinya yang hanya segenggam nasi dengan hiasan oseng tempe, sambel teri atau sambel trasi dan yang lainnya dibalut dengan daun pisang dan kertas koran. Dijajakan pula gorengan, sate usus dan sate telur puyuh, jadah, jenang, dan wajik. Serta minuman berupa wedang jahe, susu jahe, wedang tape, teh panas dan sebagainya.


Dan yang menambah motivasi untuk berkunjung, harga makanan dan minumannya yang sangat murah. Sunguh kenikmatan yang luar bisa menikmati makanan khas, ditemani hingar bingar malam kota Jogja dan lantunan bunyi lonceng penanda datang dan berangkatnya kereta. Ditambah indahnya toleransi dalam kebersamaan dengan banyak orang dari berbagai kalangan, yang terekam dalam perbincangan di sudut kota ini.

Jamu dalam Setiap Fase Kehidupan

"Let your food be your medicine and let your medicine be your food,” sebuah adagium dari seorang Bapak Kedokteran Yunani, Hippocrates. Menyiratkan makna bahwa kita seharusnya bijak dalam memilih makanan, agar tubuh pun mampu melindungi diri dari beragam serangan penyakit. Ia pun percaya bahwa semua penyakit memiliki penyebab alami, dan dibutuhkan bahan alami agar tubuh mampu memulihkan diri.
Kita mungkin beruntung, kekayaan budaya bangsa telah mewariskan sebuah konsep pengobatan alami, yang kita kenal dengan jamu. 

Dengan memanfaatkan kekayaan alam, jamu berkhasiat untuk mengatasi masalah kesehatan, bahkan untuk mempercantik tubuh.
Kegiatan meramu dan meracik ramuan tumbuh-tumbuhan asli nusantara, sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sejak periode kerajaan Hindu-Jawa. Istilah ‘jamu’ sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu “Jampi” atau “Usodo” yang berarti penyembuhan menggunakan ramuan obat-obatan maupun doa dan ajian-ajian.
Pada masanya, jamu merupakan minuman kebesaran raja sekaligus trendsetter bagi para pembesar dan mitra kerajaan di luar Majapahit. Tradisi minum jamu ini dimulai dari Brawijaya ke III yang kemudian diteruskan oleh cucunya Brawijaya ke V. Dan di akhir periode Majapahit, Raden Fatah, seorang Pendiri Kerajaan Demak Bintara, mulai mempromosikan jamu sebagai ilmu sekaligus tatanan sakral kehidupan keraton.

Hingga akhirnya, rakyat kecil memiliki kesempatan untuk menikmati minuman nusantara ini. Dan jamu bukan lagi menjadi minuman kebesaran, melainkan minuman kebersamaan dalam lokalitas budaya Jawa. Hingga saat ini pun tradisi itu tertuang dalam "Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi", berisi tentang resep racikan jamu yang muncul pertama kali pada 1831. Naskah asli buku tersebut pun tersimpan rapi di Sonopoestoko Kraton Susuhunan Surakarta. Pada masa pemerintahan Paku Buwono X juga ditulis buku mengenai resep jamu, yaitu "Primbon Jampi Jawi", yang bahkan saat ini sudah ditulis dalam huruf latin.
Bukti lain telah dikenalnya pengobatan tradisional oleh masyrakat Mataram Kuno, digambarkan pada salah satu relief “husada” di Candi Borobudur, pada tahun 772 M. Serta adanya prasasti Madhawapura, peninggalan kerajaan Hindu-Majapahit yang menyebut adanya profesi “tukang meracik jamu” yang disebut Acaraki bernama Ra Tanca atau Prapanca, ahli pengobatan yang sangat terkenal pada zamannya.

Menyegani jamu tak hanya terletak pada khasiatnya, tapi juga pada makna filosofinya. Dalam bukunya, Healthy Lifestyle with Jamu, Dr Martha Tilaar mengemukakan bahwa jamu diperlukan dalam siklus kehidupan. Mulai dari bayi dan anak-anak, remaja, dewasa, dan mereka yang berusia lanjut.
 
Filosinya pun digambarkan pada pedagang jamu gendong yang selalu membawa jamu dalam jumlah delapan jenis, yaitu Kunir Asam, Beras Kencur, Cabe Puyang, Pahitan, Kunci Suruh, Kudu Laos, Uyup-Uyup atau Gepyokan, dan Sinom. Merupakan representasi konsep delapan arah mata angin sekaligus salah satu lambang surya Majapahit ri Wilwatikta. Diharapkan melalui media jamu yang mengakar pada jati diri masyarakat, Bangsa Indonesia dapat mencapai puncak kejayaan seperti pada zaman Majapahit. Kedelapan jenis jamu ini juga merupakan urutan ideal dalam meminum jamu dimulai dari manis-asam, sedikit pedas-hangat, pedas, pahit, tawar, hingga manis kembali. 

Berandai pada saat manusia lahir dalam keadaan fitrah yang terasa manis. Kata "kunir" di atas, diambil dari representasi warna kulit penduduk Indonesia, yakni sawo matang atau semu kuning. Sedangkan "asam" sebuah gambaran ketika beranjak remaja. Beralih ke fase Pra-Dewasa, yang dianalogikan dengan jamu Beras Kencur yang terasa pedas. Bila dibedah, kata ini menjadi Bebering Alas Tan Kena Diukur yang berarti luasnya 'dunia' belum bisa dikira-kira. Memasuki gerbang kedewasaan dengan rasa  ingin tahu yang besar dan sikap egoisme yang mulai muncul.

Lalu beranjak pada masa dimana diri harus lebih banyak menata diri dan bertanggung jawab atas apa yang diucapkan. Berusaha konsisten akan visi yang akan kita capai, bukan bersikap plin-plan . Rasa pedas dan pahitnya dunia sudah mulai dirasakan seperti rasa “cabe puyang”.

Kemudian Pahitan, representasi dari masa klimaks dalam menghadapi kehidupan. Berbekal pendidikan budi pekerti yang telah diresapi sejak balita, ditunjang dengan rasa keingintahuan yang besar di masa remaja, membuat diri semakin kuat dan survive dalam menghadapi hidup yang sebenarnya.

Setelah  itu  menemui suatu perjalanan hidup yang landai sebagai sebuah resolusi hidup. Fase untuk menikmati masa keemasan, ketika telah memiliki pasangan hidup, meraih semua angan-angan yang pernah terpendam, dan berusaha lebih berarti bagi lingkungan. Inilah filosofi dari sebuah jamu "kunci suruh". Kunci merupakan sebuah bumbu penyedap makanan, sedangkan suruh memiliki banyak khasiat dan penyembuh berbagai macam penyakit. 

Dalam melanjutkan perjalanan resolusi kita ini, ada “kudu laos”. Sebuah jamu penghangat, yang mampu menghidupkan rasa kekeluargaan. Pada masa inilah kadang kala kita sering merasa lupa dan kurang bersyukur akan rizqi yang telah diperoleh. 

Lalu uyup-uyup atau gepyokan merupakan sebuah jamu penetral sekaligus bersifat rehabilitatif bagi seseorang yang telah sembuh dari penyakit berat. Bersifat mendinginkan adalah karakter jamu ini. Sebuah kepasrahan tulus dari seorang hamba kepada Tuhannya merupakan representasi nyata kehidupan seseorang sebelum memasuki alam non fana, yang tergambar dalam aroma khas jamu ini, yakni aroma tawar sedikit manis. Dan perjalanan berakhir pada “sinom”  dapat diartikan sirep tanpa nampa yang bermakna diam atau tertidur tanpa meminta apapun. 



Itulah sebuah gambaran perjalanan hidup manusia, dalam filosofi jamu. Dimana tradisi minum jamu pun memberikan makna bahwa setiap manusia haruslah menghargai hidup. Bukan hanya untuk kesehatan jasmani tetapi juga rohani. Dan jamu adalah gabungan antara pengetahuan dan keterampilan dimasa masyarakatnya yang belum mengenal tulisan. Sehingga ditransformasikan dari generasi ke generasi melalui tembang, seperti Serat Centhini.

Sumber:
Djamoe.Blogspot.com/Sejarah Jamu
Madaisking.Blogspot.com/Jamu: sebuah filosofi dan representasi budaya
Female, Kompas.Com
Suharmiati dan Lestari Handayani, Meracik Jamu Perpaduan Antara Seni dan Pengetahuan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan.
massage-techniques.suite101.com
The essence of Indonesia spa: spa Indonoesia jawa dan bali, 2009, gramedia pustaka utama.

Masa Depan Media Cetak?


“Apakah media cetak masih akan tetap bertahan dalam kurun 10-20 tahun ke depan?Bill Gates pernah meramalkan jika pada tahun 2000, media cetak akan mati. Nyatanya sampai sekarang media cetak masih terus bertahan dan diyakini akan tetap ada hingga sampai kelak manusia tidak memerlukan lagi. Philip Meyer penulis buku Vanishing Newspaper (2004) bahkan meramalkan di Amerika Serikat, koran terakhir akan terbit pada kuartal pertama 2043.
SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) melakukan sebuah penelitian bertajuk masa depan media cetak di Indonesia, pada 23-29 Juni 2010 melibatkan 2.971 responden. Mayoritas responden membeli surat kabar secara eceran 64,2%, disusul majalah 24,5% dan tabloid 20%.
Kemudian dari tahun ke tahun tren harga berlangganan media cetak terus merangkak naik, nyaris tak pernah ada penurunan harga. Sehingga koran melakukan strategi ‘Koran seceng’ atau koran seribu rupiah untuk mengatasi koran baru di pasar.
Kemudian sebanyak 91,4% responden membaca koran daerah sedangkan untuk koran nasional hanya 8,6%. Karena segmen pembaca surat kabar nasional di Indonesia umumnya adalah masyarakat yang berlatar belakang sosial ekonomi status menengah ke atas, dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Pembaca koran daerah, latar perbandingan lurus dengan populasi penduduk yang memiliki sosial ekonomi status menengah ke bawah dan tingkat pendidikan rendah.
Untuk saat ini dengan hadirnya media online dengan penetrasi browser yang meningkat, media cetak mengalami penurunan tajam dalam hal penetrasi (menerobos) pembaca, billing iklan media cetak yang dimonitor Neilson Indonesia justru meningkat pesat. Pada tahun 2009, market share iklan media cetak tumbuh 23%, dengan volume Rp 8,2 triliun.
Lalu apa yang harus dilakukan media cetak di zaman digital ini? Ika Jatmikasari Associate Director Neilson Media Indonesia menyarankan delapan langkah strategi (2009):
1.      Membangung kanal internet dan melakukan reportase dalam beragam platform. Mengutip Jay Rosen seorang profesor jurnalism dalam New York University saat ini reporter koran harus mampu menulis atau melaporkan berita dari berbagai platform. Dan bukan cuma dari satu platform saja. Mengapa harus demikian?pasalnya teknologi telah mengubah cara orang dalam mengkonsumsi berita. Banyak diantara konsumen memang masih memperoleh informasi melalui media cetak. Namun banyak pula diantara konsumen yang telah berpindah untuk mendapatkan informasi melalui berbagai media sekaligus, seperti televisi, telepon seluler dan internet.
2.      Menjadi niche media, model media massa tidak lagi bisa bekerja sebagai model internet, dan kini semakin banyak orang menemukan subjek dan bidang spesifik yang lebih menarik melalui internet.
3.      Integrasi laporan yang real-time. Jaringan sosial media (facebook, twitter,dll) telah menuntut audience untuk menyampaikan berita yang mereka buat sendiri. Koran dapat menggunakan media sosial ini untuk menyampaikan berita hangat tiap hari.
4.      Mendorong inovasi.
5.      Berinvestasi di bidang modal device. Lebih banyak orang ini mengunakan telfon pintar dan memanfaatkannya untuk saling berkoneksi. Dari hal inilah, terdapat potensial pendapatan yang bisa diperoleh. Media bisa mengutip kepada setiap pelanggan yang mengunduh aplikasi dari media tersebut, seperti halnya ketika memungut kepada pelanggan koran.
6.      Berkomunikasilah dengan pembaca muda. Media sosial (facebook, twitter,dll) telah medorong orang untuk dan berkomentar terhadap apapun. Anda ingin membaca koran berkomentar atau mengirim respon terhadap apa yang ingin mereka baca ? satu hal yang perlu diperhatikan untuk membuat publik menilai sebuah koran adalah ketika koran itu memberikan “nilai” (value) kepada publik. Media harus berinteraksi dengan publik.
7.      Membangun komunitas. Surat kabar (dan versi web mereka) terlalu sederhana untuk diharapkan sekedar menyampaikan informasi. Media juga harus menciptakan komunitas. Manfaatkanlah media sosial untuk membangun komunitas (koran) anda. Dengan menciptakan komunitas, anda telah menciptakan hubungan yang royal dengan para pemaca.
8.      Berlangganan atau gratis ? haruskah versi online surat kabar mengutip dari pembaca yang hendak mengaksesnya ? apa model terbaik untuk hal ini ? rupert murdoch, CEO News Corp ., mulai memungut bayaran dari pembaca untuk semua informasi dari wabsite. Mengapa ? surat kabar perlu menciptakan nilai bagi pembacanya. Dan menyediakan layanan yang orang mau untuk membayarnya !
Sungguhpun demikian, ini tidak berarti internet akan menggeser media cetak dalam kurun beberapa puluh tahun kedepan sebagaimana ditanyakan beberapa pakar. Kevin Sablan (orange county register) misalnya “berpijak dari pengalaman puluhan tahun dan mitos kuno tentang kantor yang tanpa kertas (paperless), saya tidak yakin media cetak akan pergi dari kehidupan saya . “ sementara Mathew Ingram (the globe and mail), berpendapat , “saya tidak berfikirweb site akan sepenuhnya pernah menggantikan koran. Saya masih mengira akan selalu ada orang yang menginginkan media cetak untuk berbagai alasan, termasuk kenyamanan, kemudahan menenteng, dll. “
Sebuah pendapat lain datang dari Paul Bradshaw (professor jurnalisme dari Birmingham University). “Surat kabar sebagai sebuah platform memiliki beberapa keuntungan dibandingkan website, baik secara teknikal maupu kultural dan surat kabar cukup fleksibel untuk beradaptasi.
Tiga tahun lalu, survei multimedia yang dilakukan Group of Magazine KG, merilis pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 30 juta pengguna, ini tentu menandakan jika arus informasi melalui internet sudah sangat gencar dan diyakini akan menjadi salah satu batu sandungan bagi media cetak. Bahkan, ini juga sudah menjadi sebagian pendapat dari orang-orang yang bergelut di dunia usaha. Asumsi ini, memang tak ada salahnya. Terbukti, di Amerika Serikat (AS) sendiri, sejak tiga tahun lalu, sejumlah surat kabar ternama AS seperti Chicago Tribune, Philadelphia Inquirer, Seattle Post Intelligencer dan The Minneapolis Star mengalami kebangkrutan, kendati saat itu, pemicunya diduga akibat krisis ekonomi yang melanda AS dan negara-negara lainnya, namun tak sedikit juga pengamat menyimpulkan jika kebangkrutan itu akibat usaha media cetak tersebut kalah bersaing dengan portal berita online, bahkan beberapa dari usaha media cetak tersebut justru lari ke media online sebagai jalan keluar agar tetap eksis. Memang catatan di atas, untuk sementara dapat membuktikan jika media online secara bertahap telah sedikit banyaknya mampu menggerus industri media cetak. Tapi, di Indonesia, media online dinilai tak akan mematikan media cetak, peluang untuk berkembang dan mempertahanakan diri masih terbuka lebar, itu karena media cetak merupakan jalan utama bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan berita. Selain itu, media cetak di Indonesia sudah dianggap sebagai budaya dan kebiasaan masyarakat sejak dulu.
Peluang media cetak untuk tetap eksis dan menjadi mainstream informasi dan berita, yaitu:
1.      Membaca media cetak seperti koran dan majalah sudah menjadi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat sejak dulu. Salah satunya sebagai teman dalam ritual meminum teh atau kopi di pagi hari. Ini menunjukkan bahwa masyarakat membaca media cetak bukan hanya untuk mendapatkan informasi dan berita tapi sudah menjadi suatu kebiasaan rutin.
2.      Walaupun telat sehari  dalam pemberitaan, keakuratan content informasi dan berita media cetak dinilai lebih unggul dibanding dengan media online. Hal ini disebabkan media cetak lebih matang dalam menyajikan sebuah informasi dan berita karena waktu untuk mengolah dan mendapatkan keakuratan sebuah informasi dan berita  lebih banyak. Beda halnya dengan media online yang terkadang hanya mengejar waktu tayang tanpa memedulikan kualitas informasi dan berita yang disajikan. Sehingga masyarakat yang ingin mendapatkan atau mengkonsumsi informasi dan berita yang berkualitas dan akurat akan tetap mengandalkan media cetak sebagai sumber utama.
3.      Terkait dengan tantangan media cetak untuk lebih menyelaraskan dengan teknologi internet seperti yang dilakukan KOMPAS dengan QR Code-nya, media cetak akan mendapatkan porsi yang sama dengan porsinya saat ini sebagai sumber ionformasi dan berita. Tentunya dengan inovasi dan terobosan baru.
Namun, Jika sebuah media cetak tetap mempertahankan sifat konvensional seperti yang masih terjadi pada beberapa media cetak di Indonesia, maka tak mustahil jika media online akan menjadi alternatif masyarakat untuk mendapatkan sebuah berita dan informasi.
Dalam pemasangan iklan guna pemasukan media cetak juga terdapat beberpa keunggulan daibanding media lainnya, seperti televisi, radio bahkan media online. Keunggulan majalah sebagai media iklan suatu produk, yaitu:
1.      Selektivitas
Yaitu kemampuan media ini untuk menjangkau khalayak audiens secara selektif. Kebanyakan majalah diterbitkan untuk khalayak tertentu yaitu kelompok khalayak yang memiliki minat khusus terhadap suatu hal. Indonesia dewasa ini memiliki majalah dengan isi cukup bervariasi yang menjangkau pembaca yang memiliki beragam latar belakang termasuk juga majalah untuk bisnis dan industri.
Di Amerika Serikat majalah kategori olahraga merupakan majalah yang paling banyak diterbitkan setiap tahun. Di Indonesia majalah untuk wanita masih mendominasi pasaran walaupun kategori lain menargetkan kelompok pembaca dengan minat khusus sudah mulai banyak bermunculan. Dimana terdapat segmentasi berdasarkan demografis, geografis, psikografis dan sebagainya.
2.      Kualitas Produk
Atribut paling berharga yang dimiliki majalah adalah kualitas reproduksinya. Majalah umumnya dicetak menggunakan kertas berkualitas tinggi dan menggunakan proses percetakan yang memungkinkan reproduksi yang sangat bagus, baik dalam hitam putih ataupun berwarna.
3.      Kreativitas Fleksibel
Majalah menawarkan pemasang iklan fleksibilitas besar dalam tipe, ukuran dan penempatan materi iklan. Beberapa majalah menawarkan beberpa pilihan yang dapat mendorong daya tarik pembaca terhadap suatau iklan sehingga dapat meningkatkan perhatian dan minat audiens. Misalnya dengan cara menyediakan halaman lipat, halaman tanpa tepi, sisipan dan pembelian ruang kreatif.
4.      Permanen
Daya hidup pesannya lebih lama. Studi  menunjukan bahwa sekitar 75 persen pembaca menyimpan majalah yang digunakan sebagai referensi di masa depan.
5.      Prestise
Prestise yang bisa diperoleh suatu merek produk karena iklannya muncul di suatu majalah terntentu yang dikenal luas memiliki citra atau imej yang positif.
6.      Penerimaan dan Lingkungan Konsumen
Suatu penelitian di AS membuktikan bahwa majalah merupakan media yang paling banyak digunakan konsumen untuk mendapatkan pengetahuan, informasi dan ide. Penelitian tersebut membuktikan bahwa majalah menjadi sumber informasi utama bagi konsumen atas berbagai produk, seperti: produk otomotif, kecntikan, pakaian, perencanaan keuangan dan perjalanan.
7.      Pelayanan
Ada riset konsumen yang mencakup kegiatan penelitian terhadap trend umum konsumen, perubahan polan pembelian konsumen dan konsumsi atau penggunaan media oleh konsumen.
Surat kabar dalam mengiklankan sebuah produk, memiliki keunggulan yaitu:
1.      Jangkauan Ekstensif
Cakupan pasar yang luas khususnya di kawasan perkotaan dimana tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakatnya cukup tinggi. Menurut George dan Michael Belch (2001) “penetrasi surat kabar yang ekstensif menjadikan surat kabar sebagai media massa sejati yang memberikan peluang sangat bagus kepada pemasang iklan untuk menjangkau seluruh segmen populasi dengan pesannya”.
2.      Fleksibilitas
Surat kabar bersifat fleksibel dalam hal persyaratan untuk memproduksi dan menayangkan iklan, yaitu dapat ditulis dan dipersiapkan hanya dalam beberpa jam. Serta tersedia pilihan kreatif kepada pemasang iklan yang dapat dibuat dalam beberapa warna, bentuk dan ukuran.
3.      Seleksi Geografis
Menawarkan kepada pemasang iklan lebih banyak pilihan dalam hal geografis atau wilayah yang menjadi target iklan dibandingkan dengan media lainnya.
4.      Penerimaan Pembaca
Pembaca surat kabar menyediakan waktu untuk membaca koran pada akhir pekan. Kebanyakan pembaca mengandalkan surat kabar tidak saja untuk mendapatkan berita, informasi dan hiburan tetapi juga bantuan dalam membuat keputusan konsumsi.
5.      Pelayanan
Dengan adanya riset surat kabar menyediakan data mengenai kondisi pasar berdasarkan surat pembaca dan informasi dari para pengecer.
                                 
Sedangkan media online meski memiliki banyak kelebihan dalam hal pemasangan iklan ada beberapa kelemahan yaitu:
1.      Karakteristik Audiens
Pertumbuhan pengguna internet yang sangat cepat membuat karakteristik audiens berubah-ubah dengan cepat pula.
2.      Proses Lambat
Jika situsweb dikunjungi oleh banyak browser maka untuk membuka web tersebut menjadi sangat lama, sehingga menimbulkan kebosanan.
3.      Penipuan
Di banyak negara aturan dan penegakan hukum dalam bertransaksi di internet guna melindungi konsumen belum tersedia.
4.      Jangkauan Terbatas
Statistik menunjukan hanya sebagian kecil website yang dapat dijangkau oleh mesin pencari dan sebagian besar pengunjung internet hanya berkunjung pada 50 situs teratas.


Sumber :
1.      “Masa Depan Pers Indonesia, Survey Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat, Jakarta, Juni 2009
2.      “Tentang BPS dan Masa Depan Pers Indonesia dalam Kacamata Statistik”, Subagio Dwijosumono, Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, Agustus 2009
3.      “The Future of Newspaper Bisnis in Indonesia”, Ika Jatmikasari, Associate Director Nielsen Media Indonesia, Jakarta, Agustus 2009
4.      “Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu”, Morissan, Ramdina Prakarsa, Jakarta, Januari 2007.

Analisa Pengaruh Media Massa Terhadap Gaya Hidup


PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan zaman media massa tumbuh dan berkembang dengan subur, bak jamur dimusim hujan. Era globalisasi memiliki pengaruh yang kuat disegala dimensi kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial baik secara positif maupun negatif. Perkembangan teknologi membuat masyarakat terapit diantara dua pilihan. Disatu pihak masyarakat menerima kehadiran teknologi, di pihak lain kehadiran teknologi modern justru menimbulkan masalah-masalah yang bersifat struktural yang kemudian merambah di semua aspek kehidupan masyarakat. Terkait dengan perkembangan teknologi yang berdampak kearah modernisasi, IPTEK merupakan yang paling pesat perkembangannya. Salah satu diantaranya yang cukup membuat masyarakat terkagum-kagum ialah perkembangan teknologi informasi.
Menurut Praktito (1979: 36) dewasa ini kemajuan teknologi informasi yang menuju kearah globalisasi komunikasi dirasakan cenderung berpengaruh langsung terhadap tingkat peradaban masyarakat dan bangsa. Kita semua menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini bergerak sangat pesat dan telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan masyarakat di berbagai negara. Kemajuan bidang informasi membawa kita memasuki abad revolusi komunikasi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Ledakan Komunikasi” (Subrata, 1992).
Apabila globalisasi diartikan sebagai perkembangan kebudayaan manusia, maka globalisasi informasi dan komunikasi yang mucul karena perkembangan teknologi komunikasi, diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi ini tidak mungkin lagi di dibatasi oleh ruang dan waktu (Wahyudi, 1990).
Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa.
Maka tidak salah apa yang dikatakan Dennis McQuil bahwa “Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma”.
Arus informasi yang cepat menyebabkan kita tidak mampu untuk menyaring pesan yang datang. Akibatnya tanpa sadar informasi tersebut sedikit demi sedikit telah mempengaruhi pola tingkah laku dan budaya dalam masyarakat. Kebudayaan yang sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat dalam berperilaku kini hampir hilang dan lepas dari perhatian masyarakat. Akibatnya, semakin lama perubahan-perubahan sosial di masyarakat mulai terangkat ke permukaan.
PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Literatur
1.      Teori Kontemporer Mengenai Pengaruh Media Massa
Pengaruh media terhadap masyarakat telah menumbuhkan pembaharuan-pembaharuan yang cepat dalam masyarakat. Pembaharuan yang berwujud perubahan ada yang ke arah negatif dan ada yang ke arah positif.  Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa teori kontemporer yang berkaitan dengan pengaruh komunikasi massa yang digolongkan dalam empat bagian, yaitu:
o   Teori Perbedaan Individu
Menurut teori ini terdapat kecendrungan baru dalam pembentukan watak sesorang melalui proses belajar. Adanya perbedaan pola pikir dan motivasi didasarkan pada pengalaman belajar. Perbedaan individu disebabkan karena perbedaan lingkungan yang menghasilakan perbedaan pandangan dalam menghadapi sesuatu. Lingkungan akan mempengaruhi sikap, nilai-nilai serta kepercayaan yang mendasari kepribadian mereka dalam menaggapi informasi yang datang. Dengan demikian pengaruh media terhadap individu akan berbeda-beda satu sama lain.
o   Teori Penggolongan Sosial
Penggolongan sosial lebih didasarkan pada tingkat penghasilan, seks, pendidikan, tempat tinggal maupun agama. Dalam teori ini dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang cenderung sama akan membentuk sikap-sikap yang sama dalam menghadapi stimuli tertentu. Persamaan ini berpengaruh terhadap tanggapan mereka dalam menerima pesan yang disampaikan media massa.
o   Teori Hubungan Sosial
Menurut teori ini kebanyakan masyarakat menerima pesan yang disampaikan media banyak di peroleh melalui hubungan atau kontak dengan orang lain dari pada menerima langsung dari media massa. Dalam hal ini hubungan antar pribadi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyampaian informasi oleh media.
o   Teori Norma-Norma Budaya
Teori ini menganggap bahwa pesan/informasi yang disampaikan oleh media massa dengan cara-cara tertentu dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda oleh masyarakat sesuai dengan budayanya. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa media mempengaruhi sikap individu tersebut. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh media massa dalam mempengaruhi norma-norma budaya. Pertama, informasi yang disampaikan dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku serta meyakinkan masyarakat bahwa budaya tersebut masih berlaku dan harus di patuhi. Kedua, media massa dapat menciptakan budaya-budaya baru yang dapat melengkapi atau menyempurnakan budaya lama yang tidak bertentangan. Ketiga, media massa dapat merubah norma-norma budaya yang telah ada dan berlaku sejak lama serta mengubah perilaku masyarakat itu sendiri.

2.      Teori Media Ekuasi
Teori Media Ekuasi (The Media Equation Theory) dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass melalui tulisan mereka yang berjudul The Media Equation : How People Treat Computers, Television, and New Media Like Real People and Places. Keduanya merupakan profesor di jurusan Komunikasi Universitas Stanford Amerika. Berdasarkan teori persamaan media ini (teori ekuasi) Reeves dan Nass menggambarkan persoalan bagaimana orang-orang secara tidak sadar bahkan secara otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media, seolah media itu manusia.
Teori persamaan media dari Reeves dan Nass ini mencoba memperlihatkan bahwa media juga bisa diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi face to face. Dalam teori persamaan ini, media dianggap sebagai bagian dari kehidupan nyata (media and the real life are the same).
Berdasarkan research program yang akan dipaparkan di bawah ini, Reeves dan Nass yakin bahwa orang memperlakukan media komunikasi seperti memperlakukan manusia.
a.       The Media Equation: Media = Real Life
Dalam bukunya, The Media Equation, Reeves dan Nass menggagas bahwa kita menanggapi (response) media komunikasi seolah-olah media itu hidup. Implikasi praktis dari media equation ini adalah ketika kita menyalakan TV atau komputer kita, kita mengikuti aturan dari interpersonal interaction yang kita lalui selama hidup kita. Ini adalah human-media relations. Reeves dan Nass mengatakan bahwa media equation ini sifatnya sangat basic atau mendasar, jadi, “it applies to everyone, it applies often, and it is highly consequential”.
b.      Beyond Intuition that Protests: “Not Me, I Know A Picture Is Not A Person
Ketika kita menonton TV atau browsing internet, tidak seorangpun dari kita yang akan mengakui bahwa kita sebenarnya tengah merespons gambar-gambar di layar seolah-olah gambar-gambar itu nyata. Kita tahu bahwa yang ada di layar adalah gambar-gambar imajiner atau hanya representasi dari benda aslinya. Reeves dan Nass menyatakan sebaliknya. Keduanya menyatakan bahwa sebenarnya orang merespons media secara sosial (socially) dan alami (naturally), meskipun mereka mereka tahu itu adalah hal yang tidak masuk akal untuk dilakukan , dan meskipun mereka tidak berpikir bahwa respons itu mencirikan diri mereka sendiri. Suatu kondisi di mana perilaku kita tidak dipengaruhi atau disesuaikan dengan situasi yang kita alami. Di satu sisi kita bilang “not me” yang merepresentasikan bahwa kita adalah makhluk independen dan kita sadar bahwa yang kita lihat adalah buatan. Di sisi lain, kita menanggapi gambar-gambar itu seperti kita tengah melakukan interaksi interpersonal dengan seseorang.
c.       Otak Lama Dibodohi Teknologi Baru
Untuk menjelaskan alasan mengapa manusia menanggapi media secara sosial dan alami, Reeves dan Nass menggunakan teori langkah evolusi yang lambat. Menurut mereka, otak manusia terlibat hanya dalam aktivitas dan perilaku sosial, dan melihat semua objek yang dirasakan adalah benda nyata. Apapun yang kelihatan nyata, menjadi benar-benar nyata. Jadi sebenarnya kita belum beradaptasi dengan keberadaan media baru sehingga apapun yang kelihatan nyata, dipersonifikasikan oleh kita.
Orang tentu saja bisa berpikir bahwa diri mereka tidak primitif dan tidak dapat begitu saja dikontrol media. Misalnya ketika kita menonton film horror, kita terus berusaha menghilangkan rasa takut atau rasa sedih kita dengan berkata pada diri sendiri, “ini tidak nyata. Ini tidak nyata. Ini bohong”. Namun sayangnya, jarang sekali kita melakukan itu. Kalaupun kita berusaha melakukannya, kita tidak mampu melakukannya secara konsisten atau terus-menerus ketika gambar-gambar dan suara-suara itu ada tepat di hadapan kita.
Dalam teori persamaan media ini, media seperti televisi dan komputer diberlakukan layaknya aktor sosial. Aturan yang biasanya berlaku dan mempengaruhi perilaku setiap hari individu-individu dalam berinteraksi dengan orang lain relatif sama ketika orang-orang berinteraksi dengan komputer ataupun televisi. Begitu pula dengan persoalan-persoalan sosial. Ketika orang berinteraksi dengan orang lain karena kesamaan visi misi, keyakinan, status sosial, kebutuhan, atau kepercayaan. Interaksi antara orang dengan media juga berlaku seperti itu. Saat kita menonton televisi, kita cenderung memilih tayangan yang memenuhi kebutuhan kita. Saat kita mengkases internet melalui komputer pun, kita cenderung lebih mementingkan kebutuhan dan kepercayaan kita.
Selain hal-hal yang berdekatan dengan kehidupan sosial, secara mengejutkan dalam hasil penelitiannya, sebagaimana dikutip Griffin, Reeves dan Nass menyatakan bahwa, “Media are full partiscipants in our social and natural world.” (Griffin, 2003:405). Bagi Reeves dan Nass, media lebih dari sekedar “tool”. Jika McLuhan mengatakan bahwa media adalah suatu alat, dan kemudian alat itulah yang membentuk kita, namun Reeves dan Nass menyatakan bahwa media lebih dari itu. Bagi mereka yang dinamakan sebagai “tool” sebagai “hardware” yang bisa dibeli di toko. Sedangkan media, selama ini tidak bisa disamakan dengan perangkat keras yang mati. Karena media juga memberikan kontribusi dan pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Mereka juga memberikan penekanan bahwa yang diberikan melalui televisi, komputer, dan bentuk-bentuk media lainnya adalah sebuah realitas virtual. Oleh karenanya, media bukan hanya sekedar “tool”.

B.     Perubahan Gaya Hidup Akibat Media Massa
Keberadaaan media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif. Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Media memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Secara sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila taayangan atau informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh anak-anak (Amini, 1993).
Dampak yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya  terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial  atau nilai-nilai budaya. Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis.
Dampak lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme. Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik (media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian hari.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.

C.    Analisis Pengaruh Media Massa Terhadap Gaya Hidup
Ada tiga hal yang dapat menjelaskan pengaruh media terhadap perilaku masyarakat. Pertama, Pesan-pesan komunikasi massa dapat memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku. Kedua, media dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya yang ada. Ketiga, media massa dapat merubah norma-norma budaya yang berlaku dimana perilaku individu-individu dalam masyarakat dirubah sama sekali (De Fleur, 1991:8). Media massa, lanjut Hartman dan Husband (1974) biasa menyajikan sejumlah pandangan, tentang mana yang normal, mana yang disetujui atau yang tidak disetujui. Pandangan ini kemudian diserap oleh individu-individu ke dalam cara pandang khalayak.
Ø  Efek Media dan Gaya Hidup
Efek media, sebagian besar merupakan efek yang dikehendaki komunikator: efek-efek bersifat jangka pendek (segera dan temporer); efek-efek itu ada kaitannya dengan perubahan-perubahan sikap, pengetahuan maupun tingkah laku dalam individu; efek-efek itu secara relatif tidak diperantarai. Secara keseluruhan, efek-efek tersebut ada hubungannya dengan pemikiran tentang suatu “propaganda” (usaha-usaha sadar atau terencana dalam menggunakan media massa untuk tujuan-tujuan motivasional atau informasional).
Suatu gaya hidup yang meluber lewat komunikasi massa ini melahirkan pola kehidupan yang demokratis, artinya, suatu gaya hidup tidak lagi menjadi privilege suatu kelompok dalam stratifikasi sosial. Dalam konteks kebudayaan massa, atau biasa juga disebut kebudayaan populer, masyarakat menjadi homogen. Siapa saja dapat mengambil alihnya, dari strata manapun ia berasal, pada saat ia bermaksud mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut.
Sentuhan budaya tidak langsung tetapi sangat kuat pengaruhnya, adalah penyebaran informasi dan jaringan komunikasi yang semakin luas jangkauannya. Dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pengaruh media massa kini tidak terbatas di arena-arena sosial yang terbuka dan bersifat umum,. Melalui siaran radio dan televisi, televisi global, antena parabola, dan internet pengaruh kebudayaan asing bisa menyusup ke kamar tidur, menembus dinding-dinding tembok rumah. Tidaklah mengherankan kalau siaran televisi dan radio maupun media cetak, serta internet yang tidak mengenal batas-batas lingkungan sosial politik, kebudayaan maupun geografis itu mengundang reaksi kuat di kalangan masyarakat umum. Meningkatnya intensitas arus informasi komunikasi itu menimbulkan pertanyaan sampai berapa jauh pengaruhnya terhadap kehidupan sosial kebudayaan masyarakat.
Ø  Genre Kaum Muda
Kampus tempat berkumpulnya kaum muda dari berbagai kalangan adalah sebuah miniatur bagi society yang terus berkembang. Perkembangan yang ada di dalamnya layak dicermati guna mendapatkan potret yang lebih jelas tentang pengaruh media pada gaya hidup. Kita tidak pernah mengalami kesulitan manakala hendak melihat mahasiswa/i yang memberi “warna rambutnya”. ”rambut gimbal”, ”rambut acak-acakan tidak disisir rapi.” Tidak jarang kita menjumpai mereka dengan celana “jeans yang robek-robek” dipangkal paha. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang datang kuliah dengan pakaian ala “ibu-ibu atau tante-tante“, dan “berdandan ala pesta”. Hal lain adalah penggunaan bahasa, kosa kata banci ”bergaya lemas dan manja” merebak dalam percakapan harian mereka, itulah gaya kaula muda.
Sosiolog humanis, Peter L. Berger dalam Ibrahim (1997:226) menyebut gejala demikian sebagai munculnya “urbanisasi kesadaran”. Fenomena kesadaran yang telah terurbanisasikan tersebut disebabkan kemajuan pesat teknologi komunikasi / informasi yang pada gilirannya telah menciptakan wajah baru industrilisasi dan terus merembes ke alam bawah sadar masyarakat sebagai industri kesadaran yang menurut Dennis McQuaill telah mengendalikan publik massa baru. Orang desa bisa terkotakan gaya hidupnya meskipun mereka tidak pernah ke kota. Orang bisa menjadi Barat atau terbaratkan sekalipun mereka belum pernah ke Barat.
Sebuah kelas yang mewariskan suatu genre generasi muda yang memandang bahwa keremajaan atau ke(pe)mudaan merupakan sesuatu yang menarik. Namun mereka menarik bukan karena potensialitas keremajaannya, tapi lebih karena pasar. Mengingat jumlah mereka yang tidak kecil maka semua pemasaran produk budaya massa mulai dari pakaian, makanan, asesoris, bahkan bahasa, dan perangkat artifisial ditujukan pada mahasiswa (kaum yang mewakili pemuda).
Menurut Ibrahim (19­97­:227) fenomena kawula muda memang lebih menarik untuk ditonton dan dipertontonkan, seperti kisah-kasih atau percintaan dan sukses mereka yang sering menjadi latar dan setting cerita dalam berbagai lakon sinetron. Latar kehidupan yang dibayangkan sering tanpa kedalaman. Sukses dan prestasi dianggap sebagai sesuatu yang instant seketika. Tak pernah mereka mempermasalahkan kesulitan ekonomi. Keluar masuk rumah dan mobil mewah adalah ciri mereka. Kalau pria, mereka dicitrakan “Inilah pria idaman”: tampan gesit; Kalau wanitanya, dilukiskan “wanita yang lembut”; cantik manja.
Kita bangga kalau melihat kawula muda masa kini yang selalu ceria dan tertawa riang. Baru saja mereka saling memikat di pusat perbelanjaan, lalu mereka kencan di pantai, tiba-tiba mereka sudah berdasi di kantor dengan setumpuk map. Sambil tertawa-tawa mendapat tender besar mereka pecahkan semua problem. Seakan-akan dunia ini tanpa masalah. Demikian gambaran suatu cerita sinetron yang menghiasi layar-layar kaca kita.
Gaya hidup enak dan kemudahan-kemudahan selalu terlukis kalau melihat “genre” budaya anak muda ini. Sebagai kawula muda yang kebetulan tengah “menganggur” dan kebetulan juga punya banyak waktu dan duit, mereka punya banyak teman. Dunia hiburan seperti dugem, diskotik, karaoke, identik dengan gaya hidup kawula muda.
Ø  Kosmopolitanisme Gaya Hidup
Kosmopolitanisme dan globalisasi gaya hidup yang sering dinisbatkan sebagai imprialisme budaya atau imprialisme media, telah sering dicap sebagai ciri Amerikanisasi kelompok kelas menengah ini. Gaya hidup seperti tampak pada sejumlah kawula muda sebagai suatu “genre” pendukung budaya massa terus merembes bahkan sampai ke kampus-kampus universitas/institut/akademi yang semula dianggap memiliki pertahanan budaya dan intelektualitas yang prima.
Sebab, bagaimana mungkin mahasiswa sekarang sampai merasa perlu menyelenggarakan acara-acara semisal “Gebyar Kampus”, “Rally kampus”, Konser Rock”, “Pekan Promo” (mungkin ini pengaruh Posmodernisme yang dipelesetkan menjadi Promo) atau pemilihan semacam “putra/putri kampus”, yang dengan diam-diam menanamkan kesadaran bahwa kriteria kecerdasan itu berhubungan erat dengan kecantikan/ketampanan. Padahal di balik itu, semua orang tahu, kita tidak usah terlalu cerdas hanya untuk memahaminya bahwa yang beroperasi adalah propaganda pasar kapitalis industrial yang menjadikan tubuh sebagai pusat kesadaran.
Media, ungkap Malik dalam Sihabudin (1999: 3), telah menjadi semacam tirani kognitif yang terus memiskinkan elemen-elemen budaya tradisionil, terutama yang berlandaskan agama. Fenomena kolonialisme budaya lewat media massa semakin membuktikan kenyataan itu. Sebagai contoh, acara “realigi” , “termehek mehek,” dan beberapa acara sejenis itu, menarik untuk disimak. Program ini secara sistematis menayangkan kasus-kasus kehidupan keluarga, yaitu kasus istri dipukul suami, suami gemar serong, hidup melajang, perilaku seks menyimpang (gay dan lesbian), dan sebagainya.
Melihat majalah Popular, televisi, dan radio yang mengumbar konsultasi seks, yang menganggap hubungan suami istri sebagai instrumen alat-alat mekanis yang harus dipreteli dan dibuka sebebas-bebasnya (Ibrahim, 1997:227).
Menurut Jones dalam Singarimbun (1997:210) film, musik, radio, bacaan, dan TV mengajarkan kepada mereka bahwa seks itu romantis, merangsang, dan menggairahkan. Demikian salah satu gaya hidup yang ditawarkan media. Lull (19­98:84) berpendapat, media massa komersial amat mempercepat dan mendiversifikasikan pengaruh kekuasaan budaya.
Kekuasaan budaya, yang saya maksudkan di sini kemampuan untuk mendefinisikan suatu situasi secara budaya. Kekuasaan budaya adalah kemampuan individu dan kelompok untuk memproduksi makna dan membangun cara hidup yang menarik bagi indra, emosi, dan pemikiran mengenai diri sendiri dan orang lain.
Hal ini menyerupai apa yang Anthony Giddens namakan “politik kehidupan suatu politik pemilihan gaya hidup keputusan dalam hidup.” Kekuasaan budaya dijalankan ketika orang-orang menggunakan tampilan-tampilan simbolik, termasuk asosiasi-asosiasi ideologis dan budaya yang sistematik, struktur otoritas, dan peraturan yang mendasarinya, dalam strategi aksi budaya. Memang benar bahwa citra-citra simbolik melalui media mula-mula dikuatkan secara budaya dengan cara lembaga sponsor mengorganisir dan menyajikan citra-citra itu. Tak heran kalau produksi makna dan nilai-nilai juga dikuasai dan dikondisikan oleh agen-agen tersebut, yang legitimasi kekuasaannya dimotori oleh sistem komunikasi massa. Lull (1998:84).
Dalam mendukung gaya hidup baru itu orang butuh figur. Karena itu, para bintang yang disebut Akbar S Ahmed dalam Ibrahim (19­97:26) sebagai “filosof of pop budaya pascamodern” seperti Michael Jackson atau Madonna “disembah” di mana-mana. Madonna adalah contoh ketika komodifikasi tubuh menemukan ruang pemadatannya. Ia menjadi figur fantasi yang memutar balikan relasi tanda-tanda mengenai seksualitas, kekuasaan, dan ambiguitas gender.
Jika dikaitkan dengan pokok tulisan ini, tidak menutup kemungkinan ekspose yang dilakukan media mengenai gaya hidup para idola, dan kaum selebritas. Ketika melihat fenomena “berkuasa”nya “icon pop” seperti Madonna, yang daya tarik “tubuh”-nya telah menggairahkan orang yang melihatnya. Langsung tidak langsung dapat menempatkan perilaku yang dianggap menyimpang bisa dapat dipermisifkan oleh gencarnya ekspose media massa.
Gerakan dan perkembangan zaman cukup menambah kadar keberanian para kaum muda memperlihatkan eksistensi mereka dalam bentuk icon kultur pop. Pendobrakan itu muncul ke permukaan dalam bentuk komunikasi pergaulan menengah atas, seni desain dan pertunjukkan. Perhatikan saja kosa kata banci yang merebak di kalangan anak muda Jakarta atau Bali, dan gaya “lemas” para performer di panggung-panggung kafe atau restoran.
Akhirnya, media, seperti dikatakan Jatman (1997: 127) telah menciptakan estetikanya sendiri. Ia tidak hanya dianggap sebagai agen kebudayaan, tetapi ia adalah kebudayaan itu sendiri. Artinya ketika kebiasaan kaum elit yang dalam hal ini adalah para publik figur masuk dalam media ia menjelma sebagai pop culture. Hal ini diperkuat oleh Ade Armando bahwa media turut menset agenda kehidupan konsumen termasuk mempengaruhi apa yang dianggap penting dan tidak penting, apa yang halal, dan haram, apa yang bisa dinikmati dan tidak, melalui proses pembiasan. Sehingga, gaya hidup secara luas dapat kita katakan terbentuk dari pesan media massa yang masuk secara bertubi-tubi dalam kehidupan masyarakat.
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Media massa pada umunya merupakan sektor pranata modern, yang sampai batas tertentu adalah asing untuk negara dan kebudayaan negara ketiga. Untuk memasukkannya diperlukan baik oleh alih teknologi maupun kemampuan adaptasinya terhadap kebutuhan dunia ketiga (Tharpe, 1992). Secara umum media massa merupakan sarana penyampaian informasi dari sumber informasi (komunikator) kepada penerima informasi (komunikan).
Informasi-informasi yang diterima dari media tersebut mempengaruhi kehidupan sosial budaya suatu masyarakat baik dalam persepsi sikap serta perilaku hidupnya. Dari pejelasan-penjelasan diatas, secara tersirat kehadiran media massa telah memunculkan suatu budaya baru yang menginginkan masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap budaya tersebut. Budaya ini dikenal dengan sebagai budaya populer atau budaya pop (Sugihin, 1991). Penyesuaian sikap masyarakat terhadap budaya populer ini menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat dan menuntut masyarakat untuk beralih dari masyarkat tradisional menuju ke masyarakat dengan pola hidup modern.
Keberadaaan media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif. Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Dampak yang paling kontras dirasakan dikalangan masyarakat ialah perubahan gaya hidup  dan pola tingkah laku yang menuntut masyarakat bersikap serba instant sehingga menyebabkan terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. Media massa mempengaruhi gaya hidup masyarakat untuk menjadi serupa dengan apa yang disajikan oleh media. Sadar atau tidak masyarakat pun masuk kedalamnya bahkan menuntut lebih dari itu. Kehadiran media massa dirasakan lebih berpengaruh terhadap generasi muda yang sedang berada dalam tahap pencarian jati diri.
Media memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Secara sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila taayangan atau informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh anak-anak (Amini, 1993).
Dampak yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya  terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial  atau nilai-nilai budaya. Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis.
Dampak lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme. Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik (media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian hari.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
B.     Saran
Lembaga-lembaga pemerintah yang bertugas memantau setiap penayangan media massa, harus bekerja ektras keras untuk membatasi hal-hal dari rubric-rubrik media massa yang dapat berdampak buruk bagi budaya bangsa. Orang tua perlu membimbing anak-anaknya dalam menonton setiap program acara atau informasi yang disajikan media massa, terutama untuk anak-anak yang masih dibawah umur perlu didampingi oleh orang tuanya.
Pihak dari media massa harus lebih memperhatikan rubrik yang akan disajikan dan sebaiknya menyajikan rubrik yang mendidik sehingga dapat memberi pengaruh yang positif bagi masyarakat.
Pemerintah dan media massa seharusnya menguatkan budaya bangsa pada diri generasi muda sebagai generasi bangsa. Terutama media massa, karena para pemegang instansi media massa mampu menciptakan program-program menarik mengeani budaya bangsa, sehingga dapat dianggap tren oleh masyarakat bangsanya sendiri.

Sumber:
§  Purwasito, Andrik. 1993. Pengaruh TV dan Cara Menyikapinya. Kedaulatan Rakyat: Sabtu, 6 November.
§  Debora, Christin. 2009. Pengaruh Media Massa Dalam Perubahan Sosial. 26 Mei.
§  Doktor dalam Kajian Komunikasi Pembangunan dan Dekan FISIP Untirta. 2011. Media dan trend gaya hidup, 14 Januari.